Hingga pada suatu saat, suamiku dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku menolak ikut, dengan alasan kerasan tinggal di kota yang lebih tenang. Setelah berdiskusi, usaha emping yang mulai berjalan kami anggap akan menjanjikan. Karena suamiku juga enggan tinggal terpisah dari keluarga, ia lalu keluar dari pekerjaan dan berkomitmen membantu usaha ini. Sambil menyiapkan masa depan buah hati kami, mulailah Haris membantuku. Dengan mobil milik kami yang seadanya, ia turut menemani aku ke berbagai daerah yang memesan emping.
Saat supir yang kami sewa menunggu di mobil, Haris harus rela mengangkut bal emping ke toko-toko sambil menemani aku yang getol menawarkan dagangan. Meski kehidupan kami jadi "turun pangkat", prinsipku kalau usaha ini dikembangkan bersama hasilnya akan lebih baik. Seandainya kami "tersandung", aku yakin kami pun bisa bangkit bersama.
Tahun 2003, kami lalu sepakat menggunakan nama dagang 'Kawanku'. Menguasai pasar area Malang dan Probolinggo, permintaan emping makin merajalela hingga ke Kalimantan. Emping Kawanku memang dikenal paling murah. Tak heran dalam setahun pasokannya mencapai 500 ton.
Namun, entah mengapa aku selalu berpikir kritis. Memang ada rasa senang dan kaget, tapi ada rasa khawatir juga. Rasanya, kok, tak siap kalau permintaan emping menurun drastis. Apalagi emping juga beresiko pada kesehatan, utamanya untuk kolesterol dan asam urat. Tak mau ambil resiko, aku lantas mengambil alternatif mencari produk lain yang bisa dijadikan makanan.
Tahun 2004, dengan karyawan dan modal yang sudah bertambah, aku dan suami pergi ke Jakarta dan kota-kota kecil di Jawa Barat. Tujuannya mencari supplier besar untuk kerjasama mendistribusikan snack atau camilan khas dari berbagai daerah. Belum apa-apa, kami sudah ditolak sana-sini oleh supplier yang mayoritas adalah pemain lama. Meski kecewa, aku kuatkan tekad tak langsung menyerah. Akhirnya aku memutuskan mencari camilan tradisional dari produsennya langsung. Walaupun saat itu kami tak tahu harus mencari dimana.
Selama dua minggu, kami berdua menyisir pelosok daerah. Mulai dari Bandung, Cianjur, Indramayu, Kuningan, Ciamis hinga Cirebon. Di Ciamis aku langsung menuju pasar tradisional paling besar. Setelah mencicipi dan menemukan camilan yang enak, langkah selanjutnya mencari informasi penjual dari toko yang menjualnya. Kalau tak dapat informasi, kami menghubungi Dinas Kesehatan daerah setempat untuk hunting lokasi produsen camilan tersebut. Dua tahun adalah waktu yang kami habiskan untuk mencari produsen camilan di seluruh Pulau Jawa.