Sejujurnya, kata Lia, dia hanya merasa kasihan kepada Dila yang seakan dipermainkan ayahnya sendiri. "Dila, kan, butuh uang kuliah. Karena Eddy ingkar janji, dia hanya bisa kuliah sampai D1 saja. Padahal, anaknya pintar."
Yang membuat Lia makin gusar, setiap akan menagih janji, pintu komunikasi seakan sengaja ditutup. "Setiap kali saya telepon, tak diangkat. SMS juga tak dibalas. Dila pun tak bisa lagi menghubungi papanya. Bahkan, saat Dila mau ketemu Eddy beberapa waktu lalu, papanya itu malah pergi ke acara lain. Praktis sampai sekarang kami tak bisa menghubungi Eddy lagi."
Lantaran gugatannya menyangkut public figure, sebelum dilayangkan, "Saya kasih tahu Eddy lewat surat klarifikasi." Bahkan secara informal, Sumardhan, pengacara Lia, sempat menyampaikan rencana itu ke salah seorang pengacara yang sering menangani urusan Pemkot Batu. "Tapi pihak Eddy tak menggubris," kata Sumardhan yang ditemui terpisah.
Karena tak ada respons, Lia melalui pengacaranya mengajukan gugatan nafkah di PA Malang, Jawa Timur. Sumardhan menambahkan, apa yang dilakukan Lia memiliki dasar hukum. "Gugatan nafkah diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Kami juga punya bukti dan saksi sebagai dasar gugatan kami," jelas Sumardan yang mengaku langkahnya mendampingi Lia karena merasa kasihan. "Tidak ada aspek politis. Semua murni demi hukum dan keadilan," tandas Sumardan yang membiayai semua gugatan ini.
Di sisi lain, Lia merasa punya kewajiban memperjuangkan hak Dila. "Mumpung saya masih diberi kesempatan hidup. Saya, kan, sudah tua. Nah, selagi masih diberi umur, saya akan memperjuangkan hak anak saya sampai berhasil," jelas Lia yang saat ini masih mengontrak rumah di komplek Zona Neighbourhood, Malang.
Main Api
Perkawinan Lia dan Eddy, seperti dikisahkan Lia, berlangsung hari Sabtu, 11 Juni 1983, di Ngantang, Malang. Tapi pernikahan meraka tak dihadiri oleh ayah Lia, Slamet Soetedjo. Mantan kepala PU ini tak bisa hadir karena stroke dan tinggal di Blitar. "Jadi, saya dinikahkan oleh wali nikah, Pak Moch Sodik." Saat pernikahan itu, Eddy menyerahkan mas kawin berupa uang sebesar Rp 5 ribu.
Setelah menikah, pasangan ini tinggal di rumah nenek Lia di Jalan Kawi, Malang. Dua tahun kemudian, lahirlah Dila yang ditangani oleh dr Djarbo Widarto di Malang. "Saat itu Eddy masih jadi promotor musik. Dia sering mendatangkan grup-grup musik ke Malang." Selain itu, Eddy yang juga anak mantan Walikota Malang, juga pernah menjadi promotor tinju.
Tuntutan tugas memaksa Lia pindah ke Jakarta. "Saat menikah, saya memang kerja di sebuah produk kosmetik di Malang dan kemudian perusahaan minta saya pindah ke Jakarta." Karena pekerjaan itu hanya satu-satu gantungan hidup, Lia terpaksa menuruti. Lia memang tak bisa mengandalkan dapurnya dari Eddy. "Yang kaya, kan, ayahnya. Dia sendiri kerjanya sebagai promotor yang hanya dapat uang jika ada konser."
Kepindahan Lia ke Jakarta, tak disertai Eddy. "Rupanya selama saya tinggal di Jakarta itu, Eddy main api dengan perempuan yang kini menjadi istrinya." Alhasil, tahun 1986 Eddy mengutarakan akan mengurus fasid nikah atau pembatalan nikah. Semula wanita ini asal Blitar ini menduga, suaminya bakal melengkapi surat pernikahannya karena dulu mereka nikah dengan wali. Makanya Lia tutup mata saja saat Eddy minta tanda tangan. "Ternyata surat itu justru dipakai sebagai senjata untuk menikahi Dewanti," jelas Lia.
Sukrisna / bersambung