Penganiayaan demi penganiayaan dialami Ngatinem dan Ropiah." Kalau kerja sedikit saja salah atau kerja kami lama bagi mereka.Tak segan-segan badan kami dipukul,rambut dijambak.Bahkan,saya pernah ditunjang oleh ibu Elisabeth. Apalagi,ibu itu kan polisi, hanya dengan kedua jarinya dia bisa memiting badan saya. Pedih sekali tapi apa mau dikata," ujar Ropiyah yang diiyakan Ngatinem.
Yang paling fatal, saat kepala Ropiah di ketok pakai sendok nasi yang terbuat dari kayu. Belum lagi tangan Ropiah diikat dan tubuhnya digantung di jendela." Kursi yang menempel di kaki saya dibuang. Bukan hanya saya saja, tubuh mbok juga ditimpa dengan kursi kayu yang ada di rumah itu.Pokoknya miris sekali kejadian itu kalau diceritakan kembali. Kami tahu kami memang orang susah,kerja sama orang kaya. Mobil mereka saja ada 3. Tapi, apa pantas kami dibuat seperti itu," pinta Ropiah pilu.
Sehari-hari Ngatinem dan Ropiah tak luput dari pemukulan di rumah itu. " selain dipukul,kami juga dibatasi makan.Sehari kami cuma makan dua kali.Pernah, saat kami lapar minta makan. Ternyata rintihan kami terdengar guru les yang sedang mengajar cucu-cucu boru Tobing di rumah.Mungkin karena mereka malu, kami ditampar dan dipukuli. Kalau dihitung entah sudah berapa kali pukulan mendarat di tubuh kami," kata Ropiah yang sehari-hari tidur di kamar boru Tobing," tapi saya tidur cuma beralaskan karpet tidak pakai kasur."
Puncak kemarahan keluarga di rumah itu tak jelas entah masalah apa.Tiba-tiba anak bungsu boru Tobing, bu Ande, menonjok kedua mata Ngatinem dengan kedua tangannya. Sehingga mata sebelah kiri Ngatinem memerah.Sungguh pilu nasib kedua PRT ini. Karena tak tahan lagi mereka berusaha untuk melarikan diri. Saat semua orang di rumah itu sedang pergi keluar, Senin (13/6). Ropiah mencari linggis di gudang. Dengan sekuat tenaga kedua PRT ini berusaha membuka pintu belakang menggunakan linggis.
Setelah berada diluar.Mereka segera memanggil becak bermotor minta diantar ke kantor polisi. Tapi, dari kantor polisi mereka disuruh mendatangi kantor HAM, dari sana mereka diarahkan lagi ke kantor LBH Apik (Lembaga Bantuan Hukum, Assosiasi Perempuan Untuk Keadilan) di Jl Sisingamangaraja. " Disini barulah kami tenang. Saya sudah mengikhlaskan semuanya. Tapi, saya berharap majikan saya mau memberikan gaji saya selama enam bulan yang belum pernah dibayarkan pada saya. Gaji saya Rp 700 ribu sebulan dijanjikan keluarga itu.Saya mau pulang ke Magelang saja.Saya sudah rindu keluarga. Setelah saya masuk televisi keluarga saya di Magelang sudah tahu cerita tentang saya.Keluarga mau jeput tapi tak usah biar saya pulang sendiri saja," papar Ngatinem.
Sama seperti Ngatinem, Ropiah juga berharap majikannya mau membayarkan gajinya selama empat bulan yang belum dibayarkan." Saya mau pulang saja.Biarlah saya bekerja di Brebes saja.Saya mau jadi petani,biar hidup saya lebih tenang," jelas Ropiah yang juga empat bulan belum digaji yang sebulannya Rp 700 ribu.
Menurut Ketua LBH Assosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK-Medan) Hj Cut Bietty SH yang menangani kasus ini mengaku dengan adanya pengaduan ini diharapkan polisi bertindak cepat Karena kasus ini sudah yang kedua kalinya. "Ada kesan pembiaran terhadap tersangka yang melakukan penganiayaan. Kasus ini sudah berulang, tolonglah diproses sesuai hukum. Apalagi, salah satu korban berumur 14 tahun," tegas Cut Bietty.
Kabid Humas Poldasu AKBP Raden Heru Prakoso mengaku jika korban telah membuat laporan. " Jika terbukti bersalah maka tersangka dapat dikenakan sanksi pidana umum."Debbi Safinaz