Berkat ketekunan mereka berdua, lambat laun dibantu promosi mulut ke mulut, hingga saat ini sedikitnya sudah ada 60 pelanggan katering bayi milik Siti dan Prasetyo. "Untuk satu pelanggan, minimal langganan dua kali makan, pagi dan sore," papar Prasetyo.
Katering bayi tentu berbeda beda dengan katering pada umumnya. "Kalau orang dewasa, makan makanan yang rasanya enak atau tidak, kan, bisa komentar. Sementara bayi, kan, tidak demikian," papar Siti.
Untuk mengetahui selera makan setiap bayi, setelah menerima pesanan harus mengadakan "wawancara" dengan orangtua bayi. Tujuannya, untuk mengetahui latar belakang selera makanan bayi sebelumnya. "Contohnya, kalau bayi sebelumnya sudah pernah diberi bubur instan, pasti akan menolak saat diberi asupan yang berasa tawar. Untuk menyiasatinya, asupannya harus diberi sedikit rasa, asin atau manis," jelas Siti sambil menjelaskan, makanan bayi yang paling bagus adalah tanpa rasa.
Setelah usahanya makin berkembang, menu yang ditawarkan Siti pun semakin variatif. Di antaranya tim ayam wortel, tim ayam tomat, tim ayam brokoli, tim ayam labu, tim daging jagung, tim daging bayam, tim daging kentang, buncis, bayam merah, keju, juga ikan.
Uniknya, Siti tak mematok harga tinggi. Ia menjual tiga porsi berbeda. Porsi mini seharga Rp 2.500, porsi sedang Rp 3.800, dan porsi besar Rp 5.000. "Tapi, harga itu masih belum termasuk ongkos kirim," timpal Prasetyo yang selalu mengusahakan pengantaran ke rumah pelanggan sebelum pukul 07.00.
Sementara Puji Estirtanti (34), pemilik katering bayi Happy Mommy memiliki latar belakang berbeda ketika mendirikan usaha sampingan itu. Menurut ibu satu anak ini, ia memiliki pengalaman pribadi kesulitan memberikan makanan yang istimewa bagi anaknya. Tanti, sapaannya, dulu tinggal di Jakarta, dan setelah menikah ikut suami menetap di Surabaya. "Di Jakarta, katering bayi mudah didapat. Tapi, begitu saya pindah ke Surabaya, kesulitan mencarinya," ujar wanita yang bekerja sebagai staf HRD di perusahaan logistik alat berat.
Di tengah kesulitan, ia lalu iseng mencoba menjual tepung bahan makanan bayi. "Tapi, lagi-lagi teman-teman saya di Surabaya merasa kurang familiar. Sebaliknya, saya justru diminta membuatkan bubur dari tepung itu. Nah, dari situ saya langsung berpikir, sekalian saja saya membuat katering bayi," imbuh wanita yang bersuamikan seorang dokter. Sejak itulah, Tanti membuka usaha sambilan membuat bubur bayi hingga saat ini. "Sekarang, selain bisa memberikan makanan untuk anak sendiri, saya juga bisa menjualnya untuk orang lain."
Soal resep, karena Tanti merasa tak terlalu mengetahui persis cara membuat makanan bayi, kemudian belajar dari buku resep karya Wied Harry Ariadji, ahli food combining. "Sebenarnya, setiap ibu pasti bisa membuat makanan bayi. Cuma persoalannya, makanan bayi harus selalu fresh tapi dengan porsi yang kecil. Daripada repot, lebih baik pakai jasa katering saja. Harganya murah, sehat, dan tidak repot," papar sarjana psikologi yang tinggal di Deltasari Indah AA No. 08, Waru, Sidoarjo.
Sebagai sarana promosi, Tanti memasukkan nama usahanya ke milis yang diikutinya. Secara kebetulan, dirinya merupakan anggota Asosiai Ibu Menyusui Inddonesia (AIMI). Namun, Tanti mengakui, karena katering yang dikelolanya ini merupakan pekerjaan sampingan, maka ia tak bisa memiliki jumlah pelanggan terlalu banyak. Saat ini, ia memiliki pelanggan tak lebih dari 10 orang. "Sering dapat permintaan, tapi karena pengirimannya jauh, terpaksa kami tolak," kata ibu dari Schvarla Surya Suharto (16 bulan).
Tanti menyediakan berbagai menu, seperti bubur susu, bubur saring, tim nasi saring, juga kobinasi ikan salmon, daging ayam dan lainnya. Mengingat bayi masih sangat peka, ia harus berhati-hati dalam mencari bahan bakunya. Untuk ayam dan telur, ia sengaja menggunakan telur dan ayam kampung dengan tujuan menghindari alergi. Demikian pula untuk ikan salmon, ia gunakan yang benar-benar segar. "Ikan salmon, kan, ada makasa kadaluwarsanya," imbuh Tanti yang menjual satu porsi makanan bayi Rp 6.500.
Gandhi Wasono M