Kertas yang sudah ditenun ini bisa juga di-print atau dicap seperti batik. "Tinggal pilih motif bunga atau angka. Lalu, ditempel ke media yang diinginkan, misalnya boks, tas, cermin atau apa saja. Jika fungsinya tak diisi benda-benda berat, kotaknya memakai bahan karton saja. Tapi bila ingin diisi barang berat, bahannya harus pakai playwood atau MDF agar lebih kuat. Tapi, yang terakhir harganya lebih mahal."
Nah, yang pembuatannya benar-benar handmade adalah vas. "Kertas dilipat-lipat sampai kecil kira-kira 0,5 cm dan memanjang, kemudian dililitkan ke satu media. Benar-benar butuh ketelitian dan kesabaran karena satu persatu pengerjaannya," papar Nanik sambil mengatakan vas ini banyak diminati pembeli lokal.
"Meski buatan lokal, tapi banyak orang asing yang suka. Mereka kagum karena dari bahan bekas bisa dipakai jadi sesuatu yang baru. Sementara orang kita justru berpikir, kok, dari barang bekas harganya mahal? Padahal cara membuatnya juga rumit dan pakai tangan."
Untungnya, bahan baku alami ini berlimpah di Indonesia. "Alamnya sangat bagus, tapi banyak sekali yang tidak dimanfaatkan. Misalnya, bagaimana tanaman yang dikeringkan bisa dijadikan sesuatu yang indah."
Padahal di Thailand, lanjut Nanik, produksi bunga kering sudah sangat maju. "Pemerintahnya mendidik para perajin kecil. Mengeringkan tak bisa hanya mengandalkan matahari, tapi harus dibantu bahan kimia agar keringnya cantik dan maksimal," kata Nanik seraya menyarankan, saat membuat barang daur ulang, jangan biasa-biasa saja. "Harus sesuai market internasional agar nilai jualnya tinggi. Jangan asal laku saja, karena tiap negara punya taste berbeda."
Tujuannya tak lain agar taraf hidup perajin naik. "Jangan sekadar membuat tanpa ada nilai estetikanya. Jadi, kami dibantu perajin dari Jogja karena mereka sudah dikenal bagus dalam berkreasi."