Tragedi Kehidupan Lusy (1)

By nova.id, Selasa, 26 April 2011 | 05:09 WIB
Tragedi Kehidupan Lusy 1 (nova.id)

Karena tak ada pekerjaan tetap, kami tidak bisa membayar kos, apalagi kontrak rumah. Kami lalu hidup menggelandang! Dalam keadaan perut buncit, aku diajak mengamen naik-turun bis. Sementara kalau malam, aku tidur beralas koran di stasiun komuter (Kereta Rel Diesel-Red.), Jl. A. Yani, Surabaya.

Ada satu pengalaman mengharukan yang pernah kualami. Suatu ketika, ada seorang penumpang komuter yang mungkin iba melihat diriku yang hamil dan tidur beralas koran. Oleh penumpang itu aku diberi kotak berisi nasi dan daging kambing dari acara aqiqah. Rasanya nikmat sekali menyantap nasi pemberian di tengah keadaan perut lapar.

Kerap aku bertanya-tanya di dalam hati, mengapa kesetiaanku yang demikian kuat, tidak dibalas dengan cinta oleh Sur. Setiap ada persoalan, dia tak pernah berhenti menganiayaku. Tapi karena aku terbius cintanya, aku tetap mengikuti ke mana pun dia pergi. Sekitar setengah tahun hidup menggelandang, baru menjelang persalinan aku mencari kos-kosan murah. Di situlah anakku lahir dengan bantuan bidan, di kawasan Jagir, Surabaya. Ibuku yang menebus biaya persalinan. Bayi perempuan lucu dan montok itu kuberi nama yang sangat indah, Almira Safa Adinda.

Diteror Terus

Setelah Almira lahir, kami pindah kos di kawasan Wonorejo, Tandes. Sehari-hari, aku di rumah mengasuh Almira sementara Sur kerja seadanya seperti dulu. Yang membuatku heran dan sedih, sikap Sur tak seperti sikap bapak pada umumnya yang gembira dengan kelahiran buah hatinya. Dia justru sangat tidak suka dengan Almira. Sejak bayi masih merah, Sur sudah gemar mencubit pahanya hingga menangis kesakitan. Meski berulang kali kumarahi, tetap saja dilakukannya.

Puncaknya, ketika Almira masih berusia 3 bulan, tanpa sebab yang jelas, Almira ditutupi dengan kasur! Saat itu aku sedang ke kamar mandi. Untung saja aku segera tahu. Karena tidak tahan dengan perilaku Sur yang kelewat kasar, diam-diam aku lari pulang ke rumah ibuku.

Sur berusaha mencariku di rumah. Karena tidak berani masuk rumah, saban hari dia meneror rumahku. Hampir setiap dinihari, dia berteriak-teriak memanggil-manggil namaku. "Ma...Ma... Keluar kamu, Ma!" demikian teriaknya dari depan rumah. Semula aku tak menggubrisnya tapi lama-lama aku kasihan pada keluargaku yang makin hari makin tertekan dengan terornya. Sur bahkan pernah mengancam akan mengguna-gunai aku.

Entah karena pengaruh guna-guna atau tidak, yang pasti setelah sering mendapat teror itu, aku mulai cemas dan gelisah. Tanpa sepengetahun ibu, aku meninggalkan rumah bersama Almira yang saat itu sudah berusia 9 bulan. Aku dijemput Sur saat tidak ada orang di rumah. Kami pun tinggal serumah lagi. Yang tak kusangka, suamiku itu belum juga berubah. Dia tetap doyan memukulku dan Almira.

Gandhi Wasono M / bersambung