Yang jelas, sejak SMA, pria kelahiran 12 September 1971 ini bercita-cita jadi pengacara. Maklum, ayahnya, Simon L. Tobing, juga pengacara. Bahkan dua adiknya pun berprofesi sama. Lulus dari Fakultas Hukum UI, ia melanjutkan program Notariat, dan kini sedang menyelesaikan program doktor dengan mengambil bidang Hukum Perlindungan Konsumen. David mengaku tak cari sensasi, melainkan keadilan.
Saat ini, IPB masih dalam posisi dilematis untuk mengumumkan merek susu, sementara Menkes dan BPOM akan melakukan Peninjauan Kembali (PK). Apa langkah Anda untuk mempercepat eksekusi?
Saat ini saya akan mengajukan anmaning yaitu permohonan agar Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menegur ketiga tergugat (Menkes, BPOM, dan IPB) untuk melaksanakan eksekusi secara sukarela.
Jika mereka tetap tak mau?
Ya, saya akan mengajukan permohonan eksekusi.
Tetapi, untuk eksekusi ini, kan, lain dari eksekusi biasa, ya?
Itu sebabnya saya mohon Mahkamah Agung ikut memberi solusi terbaik. Eksekusi semacam ini adalah yang pertama di Indonesia. Kalau sekadar mengosongkan rumah, memasukkan orang ke penjara, atau membayar ganti rugi, kan, sudah jelas aturannya. Tapi, ini memaksa instansi untuk mengungkap informasi. Karena yang saya tuntut adalah informasi. Kerugian saya karena tidak mendapat informasi.
Selain memohon ke MA, saya juga minta Komisi Yudisial (KY) untuk mengawal pelaksanaan eksekusi. Saya berharap, pengadilan nanti menyita hasil penelitian itu. Nah, masalah siapa yang nanti mengumumkan, terserah. Yang penting, saya dapat informasi.
(Selasa (22/2) lalu David Tobing bertandang ke KY. Jebolan FH UI ini diterima Suparman Marzuki yang berjanji akan ikut mendorong agar tergugat segera melaksanaan eksekusi.)
Bagaimana jika mereka tetap tidak mau melaksanakan putusan? Adakah sanksi alternatif?
Tidak. Di putusan PN (yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) dan MA) hanya menyebutkan, ketiga tergugat dinyatakan melanggar hukum dan dihukum untuk membuka informasi.