Pengakuan Dokter "Spesialis" Aborsi (2)

By nova.id, Senin, 21 Februari 2011 | 17:08 WIB
Pengakuan Dokter Spesialis Aborsi 2 (nova.id)

Pengakuan Dokter Spesialis Aborsi 2 (nova.id)

"Polisi memeriksa tempat praktik aborsi ilegal milik dr.Edward di Kupuang Timur, Surabaya (Foto: Gandhi) "

Anda selama ini terkenal dengan sebutan dokter aborsi. Apa tidak risih dengan sebutan itu?

Tidak! Memang saya akui, saya adalah satu-satunya dokter yang mengaku terang-terangan sebagai dokter aborsi. Bisa jadi dokter lain juga banyak yang melakukan, tapi mereka, kan, tidak mau mengakui. Saya tidak mau munafik, karena tujuan saya jelas.

Selain di tempat Anda, apakah di luaran praktik aborsi juga banyak?

Aborsi itu ada, tapi biayanya mahal dan prosedurnya berbelit. Biasanya wanita yang mau mengugurkan kandungan setelah dibawa ke dokter spesialis baru dirujuk ke rumah sakit untuk aborsi. Dan itu memakan biaya tidak sedikit. Kan, kasihan mereka ini. Padahal, pada akhirnya diaborsi juga. Kalau di tempat saya, tidak perlu seperti itu. Yang penting, dia diantar suami atau keluarganya.

Selama ini siapa saja yang jadi pasien Anda?

Campuran. Ada ibu rumah tangga, ada pula yang masih remaja.

Dalam sehari Anda bisa mengaborsi berapa orang?

Setiap hari minimal 5 orang, kecuali hari Jumat saya tutup.

Di lingkungan tempat praktik, Anda begitu dikenal sebagai dermawan. Apakah itu salah satu cara agar Anda aman?

Oh, tidak! Memang saya tidak tega melihat orang kesusahan. Siapa pun yang kesusahan, sebisa mungkin akan saya bantu.

(Menurut informasi, dulu setiap hari Jumat sore, Edward yang gemar motor besar ini keliling Surabaya, lalu di sepanjang jalan ia membagi-bagikan uang ke orang tak mampu, mulai tukang becak sampai pedagang kaki lima).

Setahun lalu Anda sempat dioperasi kanker tenggorokan hingga membuat fisik termasuk suara Anda jadi seperti ini. Apa tak berpikir, itu merupakan cara Tuhan mengingatkan agar tak melakukan aborsi lagi?

Bisa jadi begitu. Semua yang kita jalani di dunia, baik yang sedih maupun gembira, kan, sebuah cobaan. Termasuk sakit yang saya derita dan peristiwa saya ditangkap polisi saat ini, merupakan peringatan Tuhan kepada saya agar kelak saya hidup lebih baik.

Ini adalah ke-4 kalinya Anda berurusan dengan hukum. Bahkan tiga tahun silam sempat dipenjara. Apakah tidak kapok dan kelak akan mengulangi lagi?

Sudah cukup sampai di sini. Saya akan berhenti dan tidak akan melakukan lagi (ketika mengucapkan kalimat ini, Edward menundukkan wajahnya dan intonasi suara berubah lirih).

Anda menyesal?

Menyesal, sih, tidak. Kan, tujuan utama saya memang sudah jelas. Masalahnya, saya sudah tua. Fisik saya sudah tidak memungkinkan lagi. Selain itu, saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan hukum seperti ini. Jadi, sudahlah, sampai di sini saja. Saya tidak akan mau melakukan (aborsi) lagi.

Omong-omong, Anda berasal dari mana, kok, selintas seperti berdarah asing?

Saya sebenarnya berdarah Ma­dura, cuma ibu saya keturunan Amerika Latin. Saya sendiri lahir dan melewati masa kanak-kanak hingga usia 10 tahun di Suriname. Waktu zaman Belanda, kakek saya bekerja di pabrik tebu di Jombang. Lalu oleh Belanda dibawa ke Suriname. Di sana ayah saya dilahirkan, setelah menikah, lalu lahirlah saya. Baru setelah usia 10 tahun, orang tua saya ke Indonesia dan bekerja di tambang batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat. Saya menghabiskan masa SMA di sana.

Setelah lulus kemudian saya ke Surabaya, diterima di Fakultas Kedokteran Univeritas Airlangga dan lulus tahun 1979. Setelah itu ke Bandung dan menikah dengan istri pertama, kemudian menetap di Surabaya hingga sekarang.

Jika benar sudah kapok, apa yang akan dilakukan untuk menafkahi keluarga selepas dari penjara nanti?

Ya, saya tidak akan mau melakukan (aborsi) lagi. Nanti saya akan buka rumah bersalin dan minta istri saya menanganinya. Saya sudah betul-betul kapok.

Gandhi Wasono M.

Foto: Gandhi Wasono M.