Suwiran ayamnya berlimpah. Satu ekor ayam, hanya cukup untuk 10-12 mangkuk. Ditambah emping goreng plus kacang kedelai goreng, buburnya yang gurih bikin pembeli ketagihan. "Bubur saya juga kental, ibarat lengket di mangkuk. Rasanya gurih, tapi tanpa penyedap rasa. Kuncinya, pakai kaldu ayam kampung," katanya seraya menjelaskan rata-rata per hari membutuhkan 90 ekor ayam jago. "Dulu, sih, paling hanya 5 ekor."
Dengan kualitas rasa yang mantap, kata Tatang, buburnya selalu jadi incaran pembeli. Bahkan, pembelinya datang dari berbagai penjuru Jabotabek. Banyak pula di antara mereka yang bermobil. Harga pun tak jadi soal. "Rata-rata berkomentar, susah cari bubur ayam seperti ini."
Bila semula Tatang berjualan sendiri, kini ia dibantu dua karyawan. Itu pun masih kewalahan. Bayangkan, "Warung baru buka, pembeli sudah antre. Meski hujan, warung tak pernah sepi. Malah kata orang, enak makan bubur saat dingin-dingin waktu hujan. Banyak, lho, pelanggan saya yang ketagihan. Ada pelanggan yang sejak masih pacaran, sampai sekarang sudah punya cucu," jelas Tatang tertawa lebar.
Uniknya, bapak tiga anak ini masih mengerjakan semua proses produksi sendirian. Mulai memotong ayam sampai memasak bubur. "Supaya berkah, memotong ayam harus pakai doa dan menghadap kiblat. Kalau beli ayam potong, saya, kan, enggak tahu cara menyembelihnya. Kalau soal memasak bubur, memang tak bisa dilimpahkan ke orang lain. Lidah, kan, peka. Beda rasa sedikit saja, pembeli akan kabur," kata Tatang.
Usai memotong dan membersihkan ayam, selanjutnya ia merebus ayam sampai empuk dengan bumbu bawang putih, garam, jahe, dan lainnya. Habis itu, ia menggoreng ayam. Beberapa jam sebelum buka warung, "Baru saya bikin buburnya. Setelah semua siap, saya bawa ke warung," kata Tatang yang rumahnya tak begitu jauh dari tempat jualan.
Henry / bersambung
Foto: Henry