Busyro di Mata Istri: Dia Memang Sederhana dan Teguh (2)

By nova.id, Rabu, 8 Desember 2010 | 17:07 WIB
Busyro di Mata Istri Dia Memang Sederhana dan Teguh 2 (nova.id)

Busyro di Mata Istri Dia Memang Sederhana dan Teguh 2 (nova.id)

""Kesederhanaan Bapak menurun pada anak-anak kami," jelas Soimah (Foto: Repro Ahmad Fadilah) "

Kepribadian suami seperti apa, sih?

 Orangnya humoris dan religius. Bisa dibilang lemah lembut karena dia memang sangat penyabar dan tidak pernah kasar. Namun, sesungguhnya di balik semua sifatnya itu, dia amat teguh pada prinsipnya. Tak bisa ditawar-tawar lagi.

Apa yang paling prinsip bagi suami?

 Terutama soal kejujuran, kemanusiaan, dan kepeduliannya kepada masyarakat kelas bawah. Ini, kan, visi hidunya. Makanya, dulu dia dikenal sebagai "Pengacara Jalanan" yang membela rakyat miskin, bukan advokat yang glamor.

 (Soimah lalu menunjukkan sejumlah poster dengan kalimat-kalimat tegas bernada persuasif seperti "Lawan Mafia Peradilan!" dan "Rumah Ini Bebas dari Kuman Mafia Peradilan" yang dipajang di ruang tamunya.)

Benarkah semasa kecil suami sering berkelahi?

 Ya! Saya tahu dari buku biografinya ha...ha...ha... Karena sering sekali berkelahi, dia sampai harus dipindahkan sekolah oleh ibunya. Tapi itu hanya kebiasaan masa kecilnya saja. Menginjak SMP, dia mulai senang berorganisasi. Ketika di SMA (Muhammadiyah 1 Yogya), bersama MH Ainun Najib, teman satu kelasnya, mereka pernah juga mendemo gurunya untuk hal yang dianggapnya prisnip.

Soal anak, bagaimana cara dan gaya mendidik mereka?

 Tak jauh berbeda dengan idealisme kami. Contohnya, waktu Bapak menjadi dekan, menjelang Idul Fitri banyak sekali parsel datang ke rumah. Anak-anak yang saat itu masih kecil-kecil, senang melihat kue-kue dan permen yang disusun menarik dalam boks-boks itu. Anak-anak ingin sekali membukanya, tapi dilarang ayahnya.

Kenapa?

 Dia harus melihat dulu siapa pengirimnya. Jika dari saudara, boleh dibuka. Tapi jika berkaiatan dengan jabatan, parsel itu harus dikembalikan ke fakultas. Pernah juga ada mahasiswi datang ke rumah bawa biskuit sekaleng. Bapak bilang, biskuit itu harus dibawa pulang lagi. Si mahasiswinya sampai menangis. Jika saya ada di posisi mahasiswi itu, saya juga mungkin akan menangis, ya.

 (Tak jauh berbeda dengan Busyro, Soimah pun mengabdikan diri sebagai pendidik, profesi yang dianggapnya mulia. Soimah mengajar di MAN 1 Yogyakarta sebagai guru Sosiologi.)