Busyro di Mata Istri: Dia Memang Sederhana dan Teguh (2)

By nova.id, Rabu, 8 Desember 2010 | 17:07 WIB
Busyro di Mata Istri Dia Memang Sederhana dan Teguh 2 (nova.id)

Busyro di Mata Istri Dia Memang Sederhana dan Teguh 2 (nova.id)

"Di rumah inilah keluarga Busyro tinggal di Yogyakarta (Foto: Dok Jakarta Post) "

Kehidupan keluarga Busyro sangat sederhana, ya?

 Kami memang berasal dari keluarga desa yang sederhana. Bapak berasal dari keluarga guru. Kami sudah 18 tahun tinggal di rumah ini, yang kami bangun sedikit demi sedikit. Dulu, di sekitar sini masih banyak sawahnya. Kami punya tiga anak, Rahma Kusuma Fitri (21), Muchlas Hamidy (19), dan Farah Kurniawati, (18). Kesederhananaan sikap kami ini juga menurun ke anak-anak.

 Anak sulung saya kos di tempat yang biasa saja. Tidak ada AC atau kamar mandi di dalam kamar. Karena dekat kampus, dia pergi kuliah berjalan kaki. Pernah, lho, ketika ada temannya yang tahu Rahma itu anaknya Busyro, teman lainnya enggak percaya ha...ha...ha... Temannya menganggap, anak pejabat sepertinya harus tampil glamor.

 Kebetulan anak-anak juga termasuk tipe orang yang tidak mau diketahui mereka anak siapa. Mereka juga sebetulnya merasa berat ketika mendapat publikasi. Menjadi anak seorang Busyro sepertinya beban buat mereka, karena orang lain akan menilai dan membandingkannya terus dengan bapaknya. Mereka ingin menjadi diri sendiri.

Kapan suami berkumpul dengan keluarga?

 Ya, diusahakan dua minggu sekali Bapak pulang ke Yogya. Tapi, pernah juga karena sibuk sekali, enggak bisa pulang selama sebulan.

 (Sejak 2004, Busyro tinggal di rumah dinasnya sebagai Ketua Komisi Yudhisial di Jakarta.)

Sedih, dong?

 Yah, begitulah, saya rasanya seperti single parent, ha...ha...ha.... Segala urusan rumah tangga, saya yang menangani. Jika pulang, dia sering mengajak makan mi rebus kegemarannya di Jalan Parangtritis, sambil ngobrol-ngobrol. Kalau sedang di rumah, dia makan apa saja yang ada di meja makan. Sayur lodeh dan tahu-tempe, tak masalah.

Pas di rumah, dia biasanya berdiskusi bersama anak-anak. Bapak selalu minta persetujuan saya dan anak-anak, termasuk saat dia mencalonkan diri sebagai Ketua KPK. Menjelang pendaftaran calon Ketua KPK akan ditutup, setelah mendapat persejutuan kami, Bapak baru mendaftarkan diri. Awalnya, anak-anak merasa ngeri dan ketakutan karena dalam bayangan mereka, jika Bapak jadi Ketua KPK, akan banyak yang tidak suka karena harus memberantas korupsi di Indonesia.

 Ahmad Tarmizi