Kami justru dipertemukan atau dicomblangi ha...ha...ha.... Tahun 1987, saat saya semester akhir di UIN (Universitas Islam Negeri), dulu IAIN, Yogyakarta, dia dosen muda di Fakultas Hukum UII Yogya (Unversitas Islam Indonesia). Nah, kebetulan dia punya kakak seorang dosen di UIN, sementara saya punya om yang jadi dosen di UII. Merekalah yang berembuk dan merancang perjodohan kami.
Kesan pertama saat bertemu?
Biasa-biasa saja, ya. Awalnya saya malah tidak tahu siapa Busyro. Sempat dikenalkan, sih, ketika saya masih jadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan ada kegiatan di UII. Saya mulai tertarik ketika dia berkomentar tentang konsep kepemimpinan di kantor majalah kampus UII. Saya lihat pemikiran dia bagus sekali dalam memahami konsep kepemimpinan. Idealisme dan visinya sama seperti saya. Setelah itu, kami jadi sering bertemu dan berdiskusi. Teman-teman sesama aktivis juga mendukung hubungan kami.
Jadi, setiap "apel" diskusi terus, dong?
Ha...ha...ha... bertemu saya saja sebetulnya susah, lho. Soalnya, sebagai aktivis, saya punya banyak kesibukan di luar rumah dan kampus. Biasanya, setelah beberapa kali dia datang ke rumah, baru bisa bertemu saya. Gaya pacaran kami memang berbeda dengan anak muda pada umumnya. Kami punya rambu-rambu dan prinsip tersendiri.
Langsung merasa cocok meski "dijodohkan"?
Kebetulan saya punya kriteria calon suami seorang aktivis. Dulu, saya pikir akan menikah dengan sesama aktivis HMI, eh, ternyata bukan. Dia, kan, dulu aktifnya di Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Tapi berdasarkan kecocokan visi dan idealisme kami, seusai saya menyelesaikan KKN (kuliah kerja nyata), setahun kemudian atau tepatnya 7 Agustus 1988, kami menikah. Usia saya 12 tahun lebih muda dari dia jadi saya disapa, "Adik". Latar belakang keluarganya, cocok dengan keluarga saya.
Ahmad Tarmizi / bersambung