Panik dan kaget, Nur segera mengangkat tubuh Pakalima dari dalam dandang. Ia juga berteriak minta tolong. Sejurus kemudian, para tetangga berdatangan ke rumah kami. Mama Tasya, panggilan tetangga dekat kami, segera menghubungi aku yang saat itu sedang bekerja di Pemkab Pak-Pak Barat, Sumatera Utara. "Cepat pulang! Anakmu terkena air panas!" Saat itu juga, dalam hati aku membatin, kalau hanya terkena air panas, kenapa aku sampai diminta segera pulang? Pikirku, Pakalima paling-paling hanya terkena air panas di tangannya saja.
Tetanggaku itu pun sempat mewanti-wanti agar aku pulang dengan tenang, tak perlu terburu-buru atau ngebut saat mengendarai motor. Hatiku jadi gelisah ketika Mama Tasya berujar, Pakalima sudah dibawa ke sebuah klinik. Pikiran dan perasaanku berkecamuk, apa gerangan yang sebenarnya terjadi pada anakku?
Sebelum ke klinik, aku menyempatkan singgah ke rumah orangtuaku untuk menjemput anak-anakku yang lain, yang kutitipkan ke ibuku. Ibu yang melihatku datang, segera menyuruhku cepat-cepat ke klinik. Aku semakin heran, kenapa orang-orang begitu sibuk hanya karena Pakalima terkena air panas.
Memang, tak satu orang pun yang menceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi pada Pakalima dan bagaimana keadaannya yang sebenarnya. Aku jadi semakin bertanya-tanya.
Mengelupas & Bolong
Setibanya di klinik, aku disambut kerabat dan tetanggaku. Wajah mereka terlihat sedih. Penasaran, aku segera menemui Pakalima. Betapa terkejutnya aku. Tenyata sekujur tubuh Pakalima tampak berlubang-lubang akibat terkena air mendidih. Kulit tubuhnya, mulai dari dada hingga kaki, melepuh. Kulitnya pun terkelupas. Habis semua. Aku merasa lemas melihat kondisi anakku. Ya Tuhan, kenapa anak sekecil ini harus menerima cobaan seberat itu?
Aku langsung menangis sejadi-jadinya. Segera kukabari suamiku, Bayar Manik (36). Kakakku yang bekerja di RSU Sidikalang pun kuhubungi. Aku segera membawa anakku ke RSU Sidikalang. Hampir 1,5 bulan Pakalima dirawat di tempat ini. Kondisinya bisa berangsur-angsur membaik. Luka-lukanya pun selalu dibersihkan dan tak lupa diberi obat.
Yang membuat kami pusing, perawatan untuk Pakalima ternyata tak hanya obat saja. Apalagi bagian kulit yang menyatu dalam daging di tubuh Pakalima sudah banyak yang membusuk. Meski sudah dibersihkan, daging yang membusuk dan berwarna hitam-hitam itu akan muncul lagi. Jelas, sebagai orangtuanya, kami berharap Pakalima mendapatkan perawatan yang lebih baik lagi. Terutama agar lubang-lubang yang tampak di sekujur tubuhnya bisa tertutupi.
Akhirnya kami memutuskan membawa Pakalima ke RS Elizabeth Medan. Baru setengah bulan dirawat di sana, kami sudah habis sekitar Rp 100 juta. Uang itu kami kumpulkan dari hasil menjual tanah, sawah, dan lain-lain. Bahkan, para kerabat pun banyak yang ikut membantu. Mereka juga menganjurkan agar kami membawa saja Pakalima berobat ke Singapura atau Penang, Malaysia saja.
Aku dan suami bukannya tak mau membawa si bungsu berobat keluar negeri. Jangankan ke luar negeri, untuk membawa Pakalima dari Sidikalang ke Medan saja, perlu waktu sekitar 6 jam perjalanan. Selama di dalam mobil Pakalima tak henti menangis karena menahan sakit dan pedih akibat terguncang-guncang. Aku tak tega melihatnya menderita seperti itu.
Debbi Safinaz