Jelas, Doddi amat kesal dengan jawaban RK. Selang beberapa waktu, kisah Doddi, RK menelepon Indri, menyarankan untuk memeriksakan kandungannya ke RSCM. Dokter itu juga menambahkan, kamar dan dokter yang akan memeriksa Indri di RSCM sudah ia siapkan secara gratis. Indri menolak mentah-mentah tawaran itu.
Tanggal 31 Oktober, Indri kembali memeriksakan kandungannya ke dr. Didi. "Dari hasil pemeriksaan, janin saya berkembang tetapi sangat lambat." Sebulan kemudian, saat di-USG, dokter menyatakan, denyut jantung bayi sudah ada. "Tapi dia pesimis, apakah janin saya masih bisa diselamatkan. Saya bilang, selama masih terdeteksi denyut jantungnya, janin saya akan dipertahankan, apa pun risikonya," tutur Indri.
Namun, apa mau dikata, ketika Indri kembali memeriksakan kandungannya 26 November, denyut jantung janinnya sudah berhenti. Indri pun menangis sejadi-jadinya. "Rasanya masih berat walaupun orang-orang di sekitar saya menyarankan untuk mengikhlaskannya. Saya, sih, sudah ikhlas kehilangan bayi kami tapi kenyataan bahwa RK masih melenggang dengan tenang?"
Tak cuma kehilangan bayi yang didambakan, lanjut Indri, "Dampak suntikan MTX juga masih harus saya derita karena berpengaruh terhadap ginjal, lever, sumsum tulang belakang, dan paru-paru saya."
Yang jelas, ujar Indri, sejak kehilangan bayinya, ia mengaku jadi sangat sensitif setiap melihat perempuan hamil. "Teman-teman saya di kantor kebetulan banyak yang pengantin baru dan langsung punya anak. Obrolan mereka setiap jam makan siang, selalu saja seputar anak. Kalau sudah begitu, saya memilih menjauh dari mereka. Saya sering mikir, bisa hamil lagi atau enggak, ya? Bagaimana kalau ternyata cuma itu kesempatan saya untuk hamil?" tuturnya pilu.
Kini, setiap kali masa menstruasi datang, Indri mengaku merasa tak berguna dan gagal. Hari pertama dan kedua haid pun, ia selalu menangis sampai matanya bengkak.
Tambah Masalah
Alhasil, dengan berbagai pertimbangan, Indri serta Doddi melaporkan RK ke Polrestro Depok dan juga mengirim surat komplain ke RS Mitra. Pasangan muda ini menduga RK salah melakukan diagnosa dan memberikan saran suntikan MTX untuk janin yang dikandung Indri. Keduanya juga minta bertemu dengan komite medis yang ada di RS tersebut. Permintaan itu disambut baik RS Mitra. "Tapi mereka menjelaskan masalah itu dengan bahasa medis. Kami juga malah disalahkan ketika minta pertanggungjawaban RK. Kami malah 'diserang', termasuk oleh RK dan Direktur RS. Karena tidak puas, kami pulang," tutur Doddi yang memiliki usaha warnet.
Awalnya, Indri dan Doddi sempat minta bantuan pengacara. "Tapi malah jadi menambah masalah karena dia langsung mengajak menuntut ganti rugi. RS Mitra menolak tuntutan kami sebesar Rp 150 juta. Kami juga sempat ditertawakan Persatuan Obstetri dan Ginekolog Indonesia (POGI), yang menjembatani permasalahan ini."
Segala tindak-tanduk si pengacara, kata Doddi dan Indri, "Tanpa sepengetahuan kami. Pengacara itu menyebut angka Rp 1 M dan kami pun ditertawakan POGI. Mereka bilang, paling banter kami hanya akan mendapat Rp 20 juta. Padahal, yang kami inginkan adalah menuntut RK secara hukum. ''
Setelah sang pengacara menghilang tanpa kabar, Doddi berkonsultasi ke Pengadilan Negeri Depok. Hasilnya, ia mendapat bantuan hukum dari pengacara Herman Dionne, SH secara gratis. "Kami memang tak punya uang buat bayar pengacara," jelasnya. Somasi dan tuntutan pun dilayangkan ke RK. Oleh karena tak ada tanggapan memuaskan, RK dilaporkan ke polisi.
Enggak Bisa Tidur, Enggak Enak Makan
"Suara saya memang keras waktu itu karena sinyal telepon putus-putus. Bukan karena saya marah-marah," begitu sergah dr RK saat dikonfirmasi. Ia menolak menjelaskan lebih jauh tentang diagnosanya terhadap Indri dengan alasan Kode Etik Kedokteran.
"Benar, Indri pasien saya dan saat itu saya sudah memberinya beberapa alternatif terapi. Berhubung di RS tempat saya bekerja tidak ada obatnya, dia ke RS lain. Selasa setelah itu dia menelepon, katanya saya salah. Dia juga sudah berobat ke RS lain. Sebagai dokter, saya tidak bisa mengomentari hasil diagnosa dokter lain, makanya saya diam saja. Saya menyarankan untuk menjalani pemeriksaan dokter yang lebih ahli dari kami berdua di RSCM tapi dia menolak. Saya tidak bisa memaksa, kan?"
Dalam pertemuan dengan pihak RS Mitra, jelas RK, pihak Indri mengatakan, akibat terapi darinya itu terjadi sesuatu. "Padahal, belum tentu terapi saya itu penyebabnya. Bisa ya, bisa tidak," lanjut RK yang sejujurnya ingin berdamai saja dengan Indri. ''Saya bisa mengerti kondisi yang dirasakannya. Sayangnya kesepakatan belum ditemukan, tahu-tahu mereka sudah lapor ke polisi dan pengadilan. Ya, sudah, kami hanya bisa mengikuti prosesnya."
Dokter ini pun membantah bahwa ia menuduh Indri hanya menginginkan uang dari kasus ini. "Saya sendiri sampai tidak nyenyak tidur, enggak enak makan. Mereka tidak berpikir, bagaimana dampak kasus ini terhadap imej, karier, dan keluarga saya. Siapa yang peduli? Tidak ada! Tapi kalau mereka mau damai, saya senang sekali. Kasus ini juga terus dibahas di rapat RS. Mtira, kok."
Hasuna Daylailatu