Batik Kontemporer, Konsep Tradisional Dengan Kemasan Modern

By nova.id, Sabtu, 27 Februari 2010 | 17:09 WIB
Batik Kontemporer Konsep Tradisional Dengan Kemasan Modern (nova.id)

Batik Kontemporer Konsep Tradisional Dengan Kemasan Modern (nova.id)
Batik Kontemporer Konsep Tradisional Dengan Kemasan Modern (nova.id)
Batik Kontemporer Konsep Tradisional Dengan Kemasan Modern (nova.id)
Batik Kontemporer Konsep Tradisional Dengan Kemasan Modern (nova.id)
Batik Kontemporer Konsep Tradisional Dengan Kemasan Modern (nova.id)

"Batik untuk anak muda dan keluarga menengah ke bawah, Dawud tidak mematok harga mahal (Foto: Hasuna Daylailatu) "

Batik untuk Pelajar

Sementara itu, Dawud Subroto (55) juga tak mau ketinggalan. Dari Roemah Batik Tembi (RBT) miliknya di Dusun Tembi, Desa Timbulharjo, Kab. Bantul, Dawud berusaha meraih pangsa pasar anak muda.

Ini terlihat dari batik cap, sebagian lagi tulis, yang ditawarkan RBT yang mayoritas berwarna cerah dengan sentuhan motif yang modern, cocok untuk anak muda dan siswa, termasuk ABG yang menjadi sasaran produknya. "Saya ingin anak muda tidak malu atau malas memakai batik, hanya karena menganggap motif dan warnanya terlalu tua untuk mereka. Tapi kami juga tidak menutup kemungkinan untuk orang dewasa," ujar Dawud yang menyasar kalangan menengah ke bawah.

Malah, imbuhnya, ada pesanan untuk seragam para guru, karyawan, dan siswa TK dari Jogja, Tegal, dan Malang. Bahkan, ada pula pesanan dari Jakarta untuk seragam kunjungan sebuah instansi ke Thailand. Selain itu, batik cerah RBT juga mulai dilirik pasar Eropa. Jangan khawatir bila tak suka dengan warna yang tersedia. Sebab, pembeli bisa memesan warna yang diinginkan, dengan lama pemesanan 1-2 minggu.

Lantaran menyasar anak muda itulah, Dawud tak mematok harga mahal. Di RBT ada dua macam harga, yaitu Rp 55.000 untuk kain dengan dua warna dan Rp 67.500 untuk kain pelangi alias tiga warna, dengan masing-masing panjang kain 2 m. RBT juga gencar menggandeng sekolah dan perguruan tinggi untuk berkerjasama, antara lain dengan mengadakan diskusi atau kegiatan. Kebetulan, selain RBT, Dawud juga membuka usaha homestay, kerajinan tangan, dan menyediakan tempat untuk berbagai kegiatan di areal RBT yang seluas 2,5 hektar.

Meski baru dibuka sejak 27 Desember lalu, RBT sudah meraih omset cukup tinggi, yaitu Rp 60 juta. Padahal, produknya mayoritas kain, bukan produk jadi seperti baju. Meski demikian, Dawud punya sedikit kekhawatiran. "Dengan adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Cina ini, ancaman batik printing dari sana sangat besar. Di sini sudah banyak beredar, dengan harga Rp 15 ribu per meter. Kalau pemerintah tidak mendukung perajin batik, batik kita justru akan tenggelam, karena pembeli pasti memilih yang lebih murah."

Hasuna Daylailatu