Nuraeni, Ubah Musibah Jadi Anugerah (1)

By nova.id, Rabu, 12 Agustus 2015 | 12:13 WIB
Nuraeni (Foto: Swita A / NOVA) (nova.id)

Dengan semangat baru, saya melihat potensi lokal dari masyarakat yang ada di sekitar. Ada 4.000 KK yang menghasilkan ikan karena saya berada di kampung nelayan. Dari situ saya pun mencoba usaha abon ikan dengan bahan dasar ikan tuna. Ya, produksi ikan tuna memang melimpah di kampung saya, sementara usaha membuat abon, kan, risikonya rendah. Saya bisa memasarkannya dalam waktu yang lebih lama. Saat itu saya berjanji dalam hati, kalau berhasil, akan membantu yang lain karena pernah mengalami masa-masa pahit.

Walaupun sudah bangkit, namun masih terkendala modal. Akhirnya, saya mengajak istri-istri nelayan untuk bekerja sama. Mereka juga mengaku tak memiliki modal. Terlemparlah ide untuk mengolah hasil tangkapan ikan yang dimiliki suaminya dan hasilnya bisa dibagi dua.

Satu lagi yang membuat saya prihatin ketika menyaksikan istri-istri nelayan yang harus mencari utangan kepada tengkulak saat suaminya gagal melaut. Akhirnya mereka hidup dalam kemiskinan akibat terlilit utang yang menumpuk, apalagi mereka juga tak memiliki keterampilan dan akses informasi. Saya perhatikan, setiap habis panen melaut, hasilnya selalu habis untuk bayar utang. Seperti itu terus-menerus, bagai lingkarannya tak putus-putus. Mereka terjebak dalam kemiskinan. Hal seperti ini yang memantik saya untuk berbuat sesuatu bagi mereka.

Tahun 2007, saya bersama Ibu Syamsiah dan Ibu Suryani berkumpul dan berniat membuat usaha abon ikan. Uang iuran kami bertiga terkumpul sebanyak Rp1,5 juta dan akhirnya bisa digunakan untuk mengolah abon ikan sebanyak 35 kilogram.

Pernah Diusir

Bermodalkan keterampilan dari pelatihan yang saya ikuti, dengan alat sederhana kami bisa membuat abon. Namun, masih banyak kekurangannya. Abon masih menggumpal karena sarana masih minim. Saya dan dua teman pun terus mengevaluasi dan minta masukan dari konsumen. Ada yang bilang minyaknya kok banyak, bumbunya kurang, jadi kami berusaha terus membuat sampai dapat formula yang pas. Jualannya pun masih door to door dengan kemasan sederhana dari plastik kiloan. Harga abon tuna yang saya tawarkan saat itu Rp70.000 per kilogram.

Perlu perjuangan cukup lama juga untuk menghabiskan 35 kilogram abon pertama yang kami hasilkan. Sekitar satu bulan seingat saya. Banyak cerita dan pengalaman enggak enak yang saya terima. Ditolak saat menawarkan abon, sih, sudah biasa. Yang terberat adalah membangun keberanian dan tidak malu menjual karena memang tidak tahu mau dijual kemana.

Pernah, suatu hari saat masuk ke salah satu rumah makan menawarkan abon tuna, ada yang langsung mengusir, katanya dibilang mengganggu. Status janda yang saya sandang juga masih membawa imej negatif, padahal saya menawarkan produk, eh malah dianggap menawarkan diri. Pokoknya, saat itu banyak reaksi enggak enak yang saya terima, tapi saya harus kuat karena niat untuk menghidupi keluarga dan membantu yang lain.

Pernah, abon yang kami simpan akhirnya berjamur. Selidik punya selidik, ternyata ada perlakuan khusus terhadap kemasan dan minyak yang digunakan. Saya juga punya pengalaman tidak enak harus menggadaikan perhiasan. Wah, banyak sekali tantangan yang saya hadapi saat itu. Tapi, saya belajar dari pengalaman-pengalaman itu dan terus berusaha membuat abon ikan tuna yang laku di pasaran.

Nama adalah Doa

Seiring berjalannya waktu, setelah mendapatkan formula yang tepat dan tahu bagaimana memproduksi abon ikan tuna, saya kemudian ajak para istri nelayan untuk bergabung. Saat itu saya mengusulkan memberi nama kelompok kerja Fatimah Az-Zahra. Saat ditanya alasannya, saya bilang bahwa selain Fatimah Az-Zahra merupakan putri Rasul, beliau juga wanita yang patut diteladani, pekerja keras, mengajar umat serta dijanjikan masuk surga.

Ini merupakan doa saya untuk memulai usaha. Benar saja, tak ada pekerjaan yang sia-sia. Akhirnya, abon ikan tuna menemukan pasar yang cocok. Kondisi keluarga menjadi lebih baik. Produksi abon ikan tuna terus meningkat, kebutuhan hidup istri nelayan juga meningkat. Perlahan, semakin banyak yang bergabung membuat abon, paling tidak ada 200 istri nelayan.