Mbah Surip & Gombloh, Sama Nyentrik, Sama Nasib

By nova.id, Senin, 10 Agustus 2009 | 03:54 WIB
Mbah Surip Gombloh Sama Nyentrik Sama Nasib (nova.id)

Mbah Surip Gombloh Sama Nyentrik Sama Nasib (nova.id)

"Gombloh (Foto : Ist) "

Banyak yang menyamakan almarhum Mbah Surip dengan mendiang Gombloh. Sama-sama kelahiran Jawa Timur, Mbah Surip di Mojokerto dan Gombloh di Jombang; kedua seniman yang sama nyentrik ini juga sama-sama meninggal kala berada di puncak ketenaran.

Catatan Tabloid NOVA, walau tak semendadak Mbah Surip, kematian Gombloh pada 9 Januari 1988 juga menyesakkan dada para penggemarnya. Kala itu Gombloh tengah tenar berkat lagu Di Radio yang dibawakannya bersama Titi Qadarsih.

Meninggal di usia relatif muda, 39 tahun, Gombloh yang kelahiran 14 Juli 1948 adalah anak ke 4 dari 6 bersaudara. Oleh sang Ayah, Slamet dan sang ibu, Tatoekah, ia diberi nama Soedjarwoto Soemarsono.

Gombloh kecil dan lima saudaranya, hidup dalam kesederhanaan. Maklum, sang ayah hanyalah pedagang kecil yang hidup dari menjual ayam potong di pasar tradisional di kota mereka. Meski demikian, ayah Gombloh tetap berjuang menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin.

Tak heran, lulus dari SMAN 5 Surabaya, Gombloh sempat kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, jurusan Arsitektur. Sayang, meski tergolong pintar, Gombloh tak menyelesaikan kuliahnya. Ia lebih suka kabur ke Bali dan bertualang sebagai seniman.

Bertahun-tahun berkelana, Gombloh dekat dengan banyak seniman idealis. Sejatinya ia adalah pencipta lagu balada yang terbilang jenius. Kehidupan rakyat kecil banyak digambarkan dalam lagu-lagu seperti Doa Seorang Pelacur, Kilang-Kilang, Poligami, Nyanyi Anak Seorang Pencuri, dan Selamat Pagi Kotaku.

Gombloh juga menulis lagu tentang alam, seperti halnya penyanyi balada di masanya, Ebiet G. Ade dan Iwan Fals. Sementara lagu cinta karyanya cenderung aneh dan keluar dari pakem. Sebut saja lagu Lepen, singkatan dari "lelucon pendek". Syair yang terkenal dari lagu ini, "Kalau cinta sudah melekat, tai kucing rasa cokelat".

Namun yang jadi ciri khasnya justru lagu nasionalis seperti Dewa Ruci, Gugur Bunga, Gaung Mojokerto-Surabaya, Indonesia Kami, Indonesiaku, Indonesiamu, Pesan Buat Negeriku, dan BK (lagu yang bertutur tentang Bung Karno). Sementara lagu Kebyar Kebyar masih sering dinyanyikan hingga kini.

Gombloh akhirnya meninggal dunia di Surabaya setelah cukup lama menderita berbagai penyakit. Menurut teman-temannya, Gombloh sering mengeluarkan darah bila sedang bicara atau bersin. Kebiasaan merokok yang sudah dilakoninya puluhan tahun, ikut memperparah sakitnya.

Seperti halnya Mbah Surip, hingga akhir hayatnya Gombloh tak hidup bergelimang harta seperti diduga banyak orang. Dalam satu kesempatan wawancara khusus hanya dengan NOVA, janda Gombloh, Wiwiek Soedjarwoto membantah mewarisi harta senilai ratusan juta rupiah. "Enggak benar itu. Kalau enggak percaya, silakan hitung sendiri," ujar Wiwiek menanggapi isu Gombloh meninggalkan warisan Rp 300 juta. "Almarhum tidak meninggalkan tabungan di bank sepeser pun. Tapi kalau mobil ada 2, Jeep CJ-7 warna hitam dan Suzuki Carry abu-abu."

Tentang rumah di bilangan Wisma Karya Bakti, Surabaya, menurut Wiwiek, adalah rumah angsuran KPR-BTN sejak tiga tahun sebelum Gombloh tutup usia. "Cicilan per bulan Rp 80 ribu untuk masa 15 tahun," ujar Wiwiek kepada NOVA yang mengaku justru harus berhemat agar bisa membesarkan Remmy Wicaksono (4), putra tunggal buah perkawinannya dengan Gombloh.Anastasia / berbagai sumber