TJ, Dari Kapal Pesiar, Kafe, Lalu "Nyinden"

By nova.id, Kamis, 20 November 2008 | 04:02 WIB
TJ Dari Kapal Pesiar Kafe Lalu Nyinden (nova.id)

TJ Dari Kapal Pesiar Kafe Lalu Nyinden (nova.id)

""

Bila sering menonton acara komedi di Extravaganza, pasti akrab dengan para Sinden Gosip. Salah satunya, TJ. Gayanya luwes, suaranya cukup merdu. Namun perempuan kelahiran 2 Janurai 1980 yang pernah bekerja di kapal pesiar ini gemar merajah tubuh mulusnya.

Bisa diceritakan bagaimana awalnya bergabung di Extravaganza? Dulu, aku sebenarnya sudah bekerja di sebuah kafe di Bali, sebagai humas. Suatu hari, mamaku (Elsye) menelepon, "Ugly (panggilang sayang sang ibu untuk TJ, Red.), ada audisi Kampus Extravaganza (KE) di Trans TV."

Mama tahu betul, dari kecil aku memang bercita-cita jadi artis dan penyanyi rock seperti Nicky Astria. Pernah juga, sih, ingin jadi astronot. Dengan ikut audisi ini, Mama pikir aku bisa menyalurkan bakat menyanyi.

Langsung berhenti kerja, dong? Kabar dari Mama segera jadi bahan pertimbanganku, tapi aku juga belum satu tahun bekerja di kafe itu. Sempat ragu juga saat mau mengajukan cuti. Untungnya, bosku, Pak Adi, mau mengerti keinginanku. Aku boleh cuti untuk ikut audisi Kampus Extravaganza. Aku juga bilang, kalau lolos ke audisi berikutnya, jumlah cutinya akan bertambah. (Melalui NOVA, TJ mengucapkan terima kasih pada Adi, karena sejak mengikuti audisi itu, ia mengaku belum pernah bertemu lagi dengan mantan atasannya itu)

Katanya terpaksa ikut audisi di kota lain, ya? Ya, karena audisi di Jakarta sudah ditutup, jadi aku ke Semarang. Aku menumpang di rumah teman lama yang pernah sama-sama bekerja di kapal pesiar. Dia juga ikut audisi ini. Sayangnya, temanku enggak lolos, sedangkan aku lolos audisi.

Puji Tuhan, aku lolos seleksi dan berhak mewakili kampus dari Semarang. Padahal, aku enggak pernah kuliah di Semarang, lho! Tapi aku mendapat banyak dukungan karena sempat dikira wong Semarang asli. Mungkin karena bisa berbahasa Jawa medhok, ya. Aku bersyukur punya Mama yang asli Malang, jadi telingaku terbiasa menangkap omongan Mama yang medhok.

Setelah dinyatakan lolos,Mama bahagia sekali, tapi Papa tidak. Papa lebih senang aku jadi pegawai negeri ketimbang jadi artis. Sayangnya, aku sudah lama enggak bertemu Papa (orangtua TJ berpisah sejak ia masih sekolah ). Mama lalu berupaya sendiri mencari dana selama kampanye audisi untuk mendukungku. Padahal, Mama butuh biaya banyak untuk bikin spanduk dan selebaran.

Pada saat lolos audisi dapat hadiah apa? Wah, banyak orang bertanya soal itu. Padahal, lolos dari audisi KE bukan berarti dapat hadiah uang banyak. Pemenangnya dapat kontrak main di Extravaganza. Aku terima honor setiap bulan dan dikontrak per tahun. Awalnya, dikontrak untuk tiga bulan. Jujur saja, banyak yang salah persepsi soal ini. Dikiranya setelah main di Extravaganza aku langsung dapat uang banyak. Padahal, justru menyisakan hutang banyak untuk biaya kampaye selama audisi dulu ha...ha...ha...

Honorku masih dipotong Mama untuk menyicil hutang. Soal ini enggak banyak orang yang tahu. Tapi, yang pasti sekarang Mama sudah bisa beli meja makan yang sejak dulu diidam-idamkannya. Rumah kami, kan, super mungil, jadi enggak cukup untuk punya meja makan. Kami terbiasa makan sambil duduk di karpet atau di mana saja. Nah, setelah main di Extravaganza, Mama sekarang tinggal di rumah kontrakan yang agak besar di Depok. Jadi, ada tempat untuk menaruh meja makan kecil. Aku sendiri indekos di dekat Trans TV.

Bagaimana rasanya bisa tampil di acara yang disukai banyak orang? Yang pasti aku gembira tak terkira, campur bangga, dan bingung. Aku bingung karena sekarang banyak orang suka ngeliatin aku, padahal aku paling enggak suka diliatin. Dulu, kalau ada orang yang ngeliatin, bisa langsung aku tegur, lho!

Bercita-cita ingin jadi penyanyi rock, malah jadi sinden, ya? Dari kecil sebenarnya aku suka memerhatikan apa saja yang berbau seni. Termasuk kesenian wayang orang. Kalau kita lihat pertunjukan wayang, kan, ada suara sindennya yang melengking-lengking, tuh. Aku pikir, keren banget kalau bisa menyanyi seperti itu. Aku jadi sering menirukan suara sinden di rumah. Ternyata, ada untungnya juga sekarang. Pada saat Teh Tike melahirkan, aku diminta tim kreatif Extravaganza jadi personil Sinden Gosip. Awalnya diminta menggantikan gaya Teh Tike, nyinden dengan langgam Sunda. Eh, malah belepotan dan enggak pantas. Yang keluar malah logat Jawa. Ya, sudah, apa boleh buat. Wong kalau nyinden lidahku langsung jadi wong Jowo. Padahal, papaku orang Kalimantan, suku Dayak. Tapi berkahnya, justru dengan logat Jawa, aku jadi punya ciri khas dan konon kabarnya banyak yang suka.

Kesannya, kan, tomboi, kok, bisa genit dan luwes juga saat jadi sinden? Ha..ha.. Berarti aktingku bagus, ya? Aku aslinya memang senang naik motor, pakai kacamata hitam, jaket kulit. Badanku juga penuh tato. Jadi sinden, kan, itu pekerjaanku. Aku hanya orang biasa yang kerjanya melawak di TV. Beruntung sekali, aku dulu suka bergaul dengan banyak orang, jadi bisa berakting lebih luwes. | Waktu masih sekolah, dari warung ke warung, sampai tukang ojek kenal sama aku. Teman-temanku bilang mereka semua fansku. Meski tomboi, aku pandai masak, lho! Aku memang suka membantu Mama di dapur sejak kecil. Mama bilang, masakanku enak. Mama paling suka tumis kangkung dan tempe tepung buatanku. Tapi aku paling suka sama teri pedas buatan mamaku.

Dekat banget ya, sama Mama? Bisa digambarkan sedekat apa? She is my life. Hanya Mama yang aku punya dan hanya aku yang Mama punya. Mama ada di jantung hatiku (seraya menunjukan tato berupa sebaris kalimat yang ada di dada sebelah kirinya, "Di sini ada Mama").

Aku anak yang lahir dari keluarga yang kurang harmonis, anak tunggal dari Papa E.B. Djatrich dan Mama Elsye. Papa meninggalkan kami. Papa masih hidup dan bekerja sebagai pegawai negeri.

Aku dan Mama selalu berdua, ke mana-mana. Mamaku guru Bahasa Inggris. Aku dulu sekolah di SD Poncol I, Pondok Gede, SMP Negeri 49, Jakarta Timur, SMIP Paramitha, dan kuliah di Universitas Sahid, Jakarta. Saat masih di SMIP, aku sudah terbiasa membantu Mama mencari uang dengan bekerja di kafe setiap Sabtu dan Minggu. Waktu kuliah, aku juga sudah jadi guru di sekolah-sekolah kelompok bermain yang memakai pengantar Bahasa Inggris.

Kenapa suka tato? Ceritanya, aku dulu pernah bekerja di kapal pesiar di Hongkong. Selama di sana, aku ingin banget punya tato. Awalnya, aku menato lenganku. Tujuannya untuk menutupi bekas luka bakar peninggalan waktu kecil. Tato pertamaku di lengan biayanya Rp 800 ribu.

Mahal, ya? Aku sempat takut Mama marah. Tapi lewat telepon aku bilang ke Mama kalau punya tato. Ternyata aku salah duga. Mama mengizinkan. Menurut Mama, tato adalah luapan ekspresiku. Mama juga bilang, yang penting aku bisa menjaga diri. Kalau tato, sih, terserah.

Makanya, waktu aku liburan ke Bali, aku bikin tato lagi di kaki. Aku juga menambah tato di lengan, kali ini harganya sampai jutaan rupiah. Kalau yang di kaki harga pertemanan ha...ha...ha... Pokoknya, semua tato yang ada di tubuhku ada maknanya.

Sekarang sudah punya pacar atau masih jomblo? Ih, mau tahu aja, ya. Yang pasti, sekarang aku sudah ada yang punya. Tapi pacarku jauh, dia masih kuliah di Kanada. Dia teman lamaku, walaupun kami baru-baru ini pacarannya. Aku masih harus menunggu dia lulus sampai 3 tahun lagi.

Nama aslinya siapa, sih? Kok, orang-orang lebih mengenal nama TJ? Nah, itu dia. Aku juga bingung. Mungkin nama TJ malah bawa hoki, ya, ha...ha...ha... Aku berhutang budi sama teman sekolahku yang memberi nama TJ. Sayangnya, aku tidak tahu dia sekarang tinggal di mana. Nama lengkapku sebenarnya Ruth Permatasari. Kalau Mama memanggilku dengan sapaan sayang Ugly. Ceritanya, waktu kecil aku cadel dan enggak bisa bilang Ruth, malah Ug...Ug.... Akhirnya Mama memanggilku Ugly. Terkadang Mama juga memanggilku Jenong, soalnya kepalaku jenong ha..ha...ha... Eh, kok, jadi buka rahasia, ya? Erni Koesworini

Foto : Ahmad Fadillah