Mari Renungkan, 'Engeline' Mungkin Ada di Rumah Kita....

By nova.id, Selasa, 28 Juli 2015 | 08:30 WIB
Rumah Ramah Anak (nova.id)

Kalau pulang sudah tak lagi jadi kata kerja yang menenangkan, ada enggan setiap tiba waktunya untuk kembali ke rumah, maka ada sesuatu yang harus diselesaikan. Segera. Sebelum kita menemukan tempat pulang lain.

Itu yang terjadi pada pasangan Nana dan Heri. Keduanya high achiever. Penuh semangat menggelora, keduanya meniti karier di kantor masing-masing. Seperti anggota pasukan anti-mati, mereka menghadapi dengan gagah berani tanpa gentar: Politik kantor, kekejamandeadline, serta perubahan aturan perusahaan nan menggelisahkan. Berangkat pagi buta (jika tak ingin terlambat tiba di kantor pukul delapan pagi) dan pulang ketika kehidupan Jakarta mulai memelan pada pukul sepuluh malam.

Anak semata wayang mereka, Kesya, terlatih untuk mengerti. Setiap pagi anak itu menghirup sisa aroma parfum tanda orangtuanya sudah berangkat bekerja, dan sore hari menerima telepon dengan pertanyaan sama, “Lagi ngapain, Nak? Sudah mandi?” Kemudian obrolan ditutup pertanyaan yang disampaikan dengan sungguh-sungguh dan harapan mendapat jawaban lain, “Ibu nanti pulang jam berapa?”

Hidup di kota besar tidaklah mudah. Hanya pejuang yang bisa bertahan hidup dengan layak. Dan lelah. Dan batas sabar menyempit. Dan prioritas berubah.

Keduanya sudah jarang bicara dengan menggebu-gebu seperti dulu karena sudah terlalu letih. Begitu tiba di rumah dan mendapati Kesya masih terjaga, Nana terbit kesal. Sepanjang jalan, hal yang ingin dilakukannya adalah mandi air hangat, minum segelas teh hangat, membaca majalah kesayangan, bersantai hingga tertidur. Bukan menidurkan Kesya yang “rewel” minta dipijat, minta diceritain ibu ngapain aja tadi, dengan mata bulat segar tanpa ada tanda-tanda mengantuk. Nana lelah. Sangat lelah.

Ia yang biasanya riang dan penuh kelembutan bila bicara pada Kesya, berubah nada dan tekanan suaranya. Ia menjadi ibu yang ketus dan pada puncaknya membentak. Bagi Nana, urusan menidurkan anak adalah urusan domestik yang mestinya bukan ia lagi yang mengerjakan, “Saya sudah terlalu capek untuk urusan tetek-bengek rumah. Orang rumah mestinya membantu, entah bagaimana caranya. Kalau tidak, bagaimana saya bisa bangun dengan segar esok hari? Bagaimana saya bisa punya performa baik di kantor bila masihribet dengan urusan macam begini?”

Sejak peristiwa itu, Nana menahan kepulangannya sebelum merasa pasti bahwa Kesya sudah tidur. Telepon dari Kesya selepas jam kantor akan diabaikannya karena ia tak tahan mendengar rengekan Kesya memintanya pulang cepat. Perhentian favoritnya adalah gerai kopi yang tutup pukul 12 malam di dekat kantornya di pusat kota.

Akibatnya, akhir minggu adalah waktu yang dihabiskan Nana untuk tidur panjang. Istirahat. “Kesya! Ibu capek sekali! Kamu sama Mbak aja!” hentak Nana ketika Kesya merengek membangunkannya untuk mengajak main di hari Sabtu pagi.

Rasa lelah, merasa tidak dimengerti, merasa disalahkan, memicu kita, tanpa sadar, kehilangan sabar. Siapa yang potensial menerima terpaannya? Anak.

Hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan pekerja, juga ibu rumah tangga. Oh, ibu rumah tangga ini pekerjaannya tanpa jeda, dua puluh empat jam sehari. Ia harus jadi jagoan yang mengerti semua orang, mengurus apa pun, memastikan segalanya beres (dengan standar tinggi). Intens. Sayangnya, ibu-ibu jagoan mengharuskan dirinya menjadi serba sempurna. Ibu jagoan paling ngeri bila melihat pembanding ibu jagoan lain. Alhasil, ia mudah stres. Dan senewen melihat perilaku anaknya yang tidak sesuai harapan. Kemudian marah dan menghukum.

Kasus Engeline, penelantaran anak di Cibubur, dan yang terbaru kekerasan pada GT, barangkali dalam bentuk yang lebih “sederhana” terjadi di rumah kita. Membentak, mengabaikan keinginan anak, menghukum, adalah bentuk-bentuk kekerasan pada anak. Menurut Anna Surti, Psikolog anak dan keluarga, kekerasan pada anak bahkan bisa dilakukan oleh orang-orang yang mencintai anak itu.

Cerita Nana, dan juga dialami oleh para ibu-24-jam, menggambarkan situasi dan kondisi emosional kita yang perlu diatasi. Psikolog Anak Firesta Farizal pada rangkaian twit-nya mengatakan bahwa kita perlu mengenali diri sendiri, belajar meregulasi emosi diri sendiri sebelum melatih regulasi emosi anak.