Komunitas Perempuan Belajar, Sedekah Ilmu Dari Para Pakar (2)

By Dok Grid, Minggu, 30 Agustus 2015 | 09:34 WIB
Rusmiyati Budi memperlihatkan vest rajut benang pesanan (Foto: Rini S / Dok NOVA) (nova.id)

Komunitas Sekolah Rebo, Cukup Iuran Rp2 Ribu Rabu siang yang cerah di pendapa Kecamatan Depok, Sleman, Yogya. Belasan perempuan duduk melingkar di atas tikar. Mereka tengah belajar membuat kue lemper bakar. Beberapa lainnya sibuk belajar menjalin tali vandel untuk dijadikan tas rajut. Di antara mereka ada dua orang yang berperan sebagai narasumber yang mengajarkan cara membuat kue lemper bakar dan tas rajut.

Begitulah gambaran aktivitas di Sekolah Rebo (SR). Namanya memang Sekolah Rebo. Namun, sejatinya itu adalah sebuah komunitas belajar kaum perempuan di kawasan Kecamatan Depok, Sleman. Dinamakan SR lantaran jadwal pelajarannya hanya berlangsung tiap Rebo alias hari Rabu, sekali dalam sebulan.

Masing-masing anggota SR memiliki keterampilan, karena itu bila guru yang didatangkan Kepala Sekolah berhalangan, maka anggota yang ditunjuk atau mengajukan diri bisa menggantikan, berbagi ilmu kepada anggota komunitas lainnya.

“Siapa saja bisa menjadi anggota,” tegas Kepala Sekolah Rebo (SR), Ratna. Sekolah Rebo didirikan Januari 2005. Kini, anggota resmi yang tercatat berjumlah 50 orang. Jadwal kegiatannya berganti-ganti, tergantung kesepakatan sebulan sebelumnya. “Tetapi biasanya bergantian. Sekarang kuliner, besok bisa keterampilan kerajinan dan besoknya lagi bertanam. Siapa saja boleh datang,” lanjutnya.

Sekolah Rebo hanya memungut iuran Rp2.000 per kedatangan. Uang itu terkumpul utuh dan dimasukkan ke kas dan digunakan untuk membeli bahan keterampilan. “Hasil praktik dibagi rata ke semua anggota. Selanjutnya dijual lagi kepada peserta yang hadir. Uang yang terkumpul dimasukkan ke kas,” papar Ratna.

Karena tak ada keharusan untuk hadir secara rutin, bisa saja anggota SR memilih atau mencari info ilmu apa yang akan diajarkan hari itu. Apakah membuat batik pewarna alam, atau membuat jumputan atau ilmu bertanam buah dan sayur. “Tapi rata-rata semua keterampilan diminati.”

Pendek kata, lanjut Ratna, siapa yang rajin datang pasti memperleh peluang. Masalahnya, mau apa tidak memanfaatkan keterampilan yang telah dimiliki menjadi peluang usaha. “Banyak dari ibu-ibu Sekolah Rebo yang sering memperoleh pesanan kue. ”

Karya anggota SR beberapa bulan belakangan ini bahkan dipajang di “showroom” di kantor Kecamatan Depok. Pembelinya kata Ratna adalah tamu-tamu yang datang ke Kecamatan.

Menangkap Peluang

Banyaknya peluang untuk berkembang, seperti yang dimaksud Ratna, dibenarkan Rusmiyati Budi, salah satu anggota SR. Rusmiyati, yang kerap disapa Ibu Budi, mengaku memetik banyak keuntungan dari belajar di SR. Ia mencontohkan keterampilan merajut benang wol yang ia peroleh dari SR dan sudah menghasilkan uang.

Sebelum bergabung di SR, Rusmiyati lebih dulu bergabung dengan PKK Kelurahan Catur Tunggal. Dari sinilah, ia yang sebelumnya tinggal di Kalimantan mengenal banyak teman baru. Dari teman-temannya pula ia mendengar ada Sekolah Rebo “Saya lalu bergabung. Awalnya ya enggak kenal satu per satu. Yang penting kenalan, silaturahmi, lalu belajar aneka keterampilan. Salah satunya merajut. Ini saya baru saja menyelesaikan vest rajut benang pesanan Bu Camat,” ungkapnya.

Rusmiyati Budi memperlihatkan vest rajut benang pesanan (Foto: Rini S / Dok NOVA) (nova.id)

Tetapi, wanita yang menguasai keterampilan membuat kain smock ini tidak melulu menimba ilmu di SR. Keterampilannya membuat kain smock juga ia bagikan secara gratis di SR. Dari seringnya berkumpul, ia dikenal sebagai ahli smock. Lalu ia memperoleh peluang sebagai guru secara profesional bagi komunitas-komunitas kecil di Yogya. ”Saya tidak pasang tarif mahal. Yang penting kita harus berbagi dan menjalin silaturahmi,” ungkapnya.

Soal berbagi ilmu, anggota SR lainnya, Ny. Pardiman, pemilik usaha bordir gim untuk kostum wayang, juga merasakan manfaatnya. “Saya tidak mengajarkan membordir gim karena banyak yang tidak telaten. Saya mengajar membuat tas dari rajutan tali,” jelasnya.

Keterampilan membuat tas dari tali diperoleh Ny. Rajiman dari internet. “Yang mencarikan tutorial cucu saya yang kelas 2 SD. Saya sendiri mana bisa membuka internet. Nah, karena cucu saya yang pintar, dia yang mencarikan ilmu di internet. Saya belajarnya tahap per tahap. Setelah bisa, saya ajarkan ke anggota SR. Begitulah, teman-teman sekarang sudah bisa membuat tas. Ada yang sudah bisa terima pesanan. Harganya lebih murah dari tas serupa yang dijual di toko.”

Berawal dari Kelurahan

Cikal bakal terbentuknya SR, kata Ratna, berawal dari aktivitasnya di PKK Kelurahan Condong Catur. “Suatu kali oleh istri Bupati Sleman, saya diminta aktif di Sekolah Jumat Kabupaten Sleman. Beberapa keterampilan diajarkan ke sana. Tapi setelah saya amati, beberapa ahlinya kok banyak yang dari Depok? Lalu tercetuslah ide membuat Sekolah Rebo. Maksudnya agar ibu-ibu yang ahli ini bisa saling tukar ilmu. Siapa tahu bisa dimanfaatkan untuk memperoleh penghasilan tambahan,” jelasnya.

Sejauh ini, lanjutnya, SR tidak mematok target atau semacam kurikulum secara tertulis yang “kaku”. Jadwal pelajaran sudah disusun per semester, tetapi kadang kala bisa “berbelok,” bergantian. Bulan ini kuliner, berikutnya keterampilan. Tetapi kadang saya turuti apa maunya anggota. Yang penting terselenggara rutin dan selalu ada peminatnya,” ungkap Ratna.

SR kini menjadi kepanjangan tangan dari kegiatan Pemberdayaan Perempuan tingkat Kecamatan Depok, Yogya, dan dua tahun lalu pernah memperoleh bantuan dana hibah dari Kabupaten Sleman sebesar Rp15 juta. “Uang sebanyak itu dimaksudkan untuk penguatan modal kegiatan SR. Tetapi sekarang dikembangkan untuk pinjaman antaranggota dengan mengutip sedikit biaya administrasi. Maksudnya sih, kalau ada anggota ingin mengembangkan keterampilannya menjadi sebuah usaha, bisa pinjam uang itu. Sekarang uangnya sudah berkembang menjadi sekitar Rp21 juta.”

Sayangnya, harapan Ratna belum sepenuhnya terpenuhi. Memang ada beberapa yang mau menerima pesanan kue dan kerajinan, tetapi belum terlihat yang secara profesional mau menekuninya atau mengembangkan sebagai usaha. “Ada, lo, anggota SR yang menjadi juara merajut tingkat nasional. Begitu barangnya dipamerkan, tidak boleh dibeli. Juga tidak mau memproduksi agar orang lain memiliki karyanya.”

Meski begitu, Ratna tetap berharap SR tetap dilibatkan ke berbagai pameran agar anggotanya semakin terbuka dan mau mengambil peluang usaha lewat keterampilan yang dimilikinya. Rini Sulistyati