Orangtua mana yang hatinya tidak hancur mengetahui anaknya dibunuh dengan cara sadis. Sungguh aku tak menduga Ratna Maulia (18) pergi secepat ini. Yang membuatku makin nelangsa, kepergian anak keduaku itu karena dibunuh. Bisa bayangkan, ibu mana yang hatinya tidak hancur ketika tahu anaknya tewas dibunuh dengan cara diracun, dicekik kemudian jasadnya dibuang?
Aku tak habis pikir, kenapa Lia diperlakukan seperti itu? Bukankah anakku ini sangat pendiam? Jangankan kepada orang lain, kepada keluarga sendiri saja dia jarang bicara kalau tidak perlu. Karena sifat pendiamnya itulah aku seringkali merasa iba. Bahkan, kalau mau jujur, dari dua orang anak, hatiku lebih dekat pada Lia daripada ke Lilik Handayani, kakaknya yang cenderung lebih banyak bicara dan supel.
Meski pendiam, namun menjelang kelulusannya di SMK Al Hikmah, Ngronggot, Nganjuk, yang tinggal setengah tahun lagi ini dia menyambutnya dengan suka cita. Ia sudah memimpikan, setelah tamat sekolah segera bisa bekerja, dan dengan gajinya paling tidak dia akan bisa membantu orangtuanya Rp500.000 per bulan.
Salah satu tempat kerja yang bisa dia masuki selulus SMK kelak adalah perusahaan kertas yang lokasinya tak jauh dari rumah. “Emak, meski ijazah saya nanti belum keluar, tapi dengan surat keterangan lulus dari sekolah saja sudah bisa melamar pekerjaan di sana,” demikian katanya dengan mantap. Uang yang akan ia berikan kepadaku tersebut menurutnya paling tidak bisa membantu keluarga, mengingat kami memang dari keluarga sederhana.
Rencana Berziarah
Sehari-hari pekerjaanku sebagai buruh tani dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Suamiku, Sumarno (51), sudah enam bulan belakangan ini tidak bisa bekerja lagi sebagi penjual pentol di Surabaya yang sudah 18 tahun dijalani. Sakit demam berdarah disusul tipus membuat badannya lemah. Jadinya kami keberatan kalau dia harus bekerja kembali di Surabaya. Selama ini suami membanting tulang berkeliling dari satu kampung ke kampung lain dan baru pulang satu atau dua bulan kemudian.
Kini, setelah tak lagi bekerja, tugas mencari nafkah itu aku gantikan dengan menjadi buruh tani. Kami memang punya sawah tetapi bukan punya sendiri melainkan hasil dari sewa. Bahkan sebagai bentuk usaha supaya tidak membebani orangtua, sejak beberapa waktu lalu Lia juga berjualan pulsa elektrik dengan modal uang tabungannya ditambah uang dari kakaknya. Memang untungnya tidak banyak, tapi paling tidak bisa buat tambah-tambah uang sakunya.
Setiap berangkat ke sekolah dia juga membawa bekal makanan dari rumah yang dimasak sendiri sebelum berangkat. “Lumayan Mak, kalau membawa bekal, kan, saya tidak perlu membeli jajan di sekolah lagi,” katanya. Bekal yang ia bawa kadang nasi goreng, atau telur dadar dan nasi putih. Ya apa saja yang kira-kira bisa dia bawa.
Selain ingin segera lulus dan bekerja, ada satu lagi keinginan Lia belakangan ini yang selalu dia ucapkan yaitu rencana berziarah ke makam walisongo yang diadakan pihak sekolah. Dia menyambut riang rencana itu. “Emak, kalau nanti ziarah ke walisongo, pulangnya aku bawakan oleh-oleh ya. Tapi kalau berangkat aku diberi uang saku lo,” pintanya sambil merajuk. Tentu saja semua keinginan itu aku turuti, apalagi permintaannya tidak neko-neko.
Tapi, semua keinginan itu akhirnya harus kandas di tengah jalan. Belum kesampaian dia meraih mimpi-mimpinya, Tuhan rupanya sudah menentukan lain. Lia harus menghadap begitu cepat dengan cara yang sangat menyedihkan.
Tak Sempat Pamit
Aku sendiri tak mendapat firasat sedikitpun sebelum kepergiannya. Rabu (26/8) pukul 05.30, aku sudah berangkat memburuh ke sawah. Karena aku lebih awal meninggalkan rumah, jadi Lia yang berangkat pukul 06.00 tidak sempat pamit dan bertemu denganku.