ejatinya, Ferry Mauluddin (37), pergi berhaji bersama kedua orangtua dan kakak-kakaknya pada tahun 2010. Namun, saat itu Ferry baru beberapa bulan bekerja di perusahaan tambang Freeport di Timika, Papua. “Baru 26 Agustus lalu ia berangkat naik haji sendirian. Kalau dimundurin lagi akan hangus. Dia sudah mendaftar sejak 2008 lalu, sebelum mengenal saya,” ujar Linda Marlinda (39), istri Ferry saat ditemui di kediaman mertuanya di Jakasampurna, Bekasi, Selasa (15/9).
Masih jelas dalam ingatan Linda, suaminya berangkat dari rumah ke embarkasi haji pada hari ulangtahunnya. “Sebelum berpisah, ia sempat mencium tangan saya sambil meminta maaf. Herannya, bukannya menjawab iya, saya malah memintanya buru-buru masuk karena sudah dipanggil pembinanya,” sesal Linda.
Entah firasat atau bukan, malam sebelum berangkat, Ferry yang masuk Kloter 12 memasang pita berwarna hitam di tas koper yang akan ia bawa sebagai penanda itu tas miliknya. “Waktu saya tanya kenapa bukan pita merah putih karena dari Indonesia atau pita hijau yang jadi warna kesukaannya, ia hanya menjawab tidak tahu,” kenangnya.
Selama berada di Tanah Suci, Ferry yang menjadi ketua regu rombongan sangat khusyuk beribadah. Setiap kali dihubungi, Ferry tengah atau akan beribadah seperti i’tikaf, thawaf, atau lainnya. Linda sendiri menghubungi Ferry setiap dua hari sekali lewat telepon. Selain menasihati Linda untuk banyak makan, minum, dan minum vitamin karena masih menyusui Zia Aisha Sabila yang berusia 10 bulan, Ferry juga tak lupa menanyakan kabar anak tunggal mereka itu. Linda sendiri pertama kali mengetahui musibah robohnya crane lewat teve, Jumat (11/9). Ia mengaku biasa saja mendengarnya. “Saya malah lebih deg-degan setiap kali ia terbang ke Papua, takut pesawatnya jatuh atau meledak, atau ada kerusuhan di sana.”
Linda berniat menelepon Ferry untuk mengetahui kejadian robohnya alat berat di Masjidil Haram tersebut. Namun, sepanjang Jumat itu, berkali-kali teleponnya tak pernah diangkat sang suami, bahkan hingga esoknya.
Ketika salah satu media online memberitakan Ferry meninggal, Linda berharap berita itu salah, apalagi tak ada pihak berwenang dari pemerintah Indonesia yang memberitahu hal itu. Tak kehilangan akal, Linda menelepon ke call center di Arab Saudi, Sabtu pagi. Ia mendapat informasi, tak ada korban meninggal atas nama suaminya. Ferry memang jadi korban, tapi dirawat di rumah sakit. “Waktu saya menelepon lagi hari itu, nama Ferry sudah tidak di daftar lagi. Saya pikir, berarti sudah mulai pulih,” kenangnya.
Betapa terkejutnya Linda ketika Minggu pagi ia mendapat telepon dari Arab Saudi yang mengabarkan Ferry meninggal. Ingin rasanya Linda tak percaya, karena menurutnya, selama di Tanah Suci Ferry sangat sehat dan menikmati ibadahnya. Ia tak pernah mengeluhkan apa pun, termasuk soal makanan, cuaca yang sangat panas, maupun lelah. “Paling-paling saya mengingatkannya untuk tak lupa makan biar enggak sakit dan banyak ibadah mumpung di sana.”
Senin (14/9), Ferry segera dimakamkan di Tanah Suci. Kini, tutur Linda, pupus sudah semua harapannya membina rumahtangga sampai tua bersama Ferry. Padahal, rencananya, sepulang berhaji nanti, Ferry akan mengajaknya sering-sering mengonsumsi daging agar Linda bisa mengandung anak laki-laki pada kehamilan berikutnya. “Dia ingin saya hamil lagi sebelum usia saya 40,” ujar perempuan berparas ayu ini.
Rencananya, Ferry yang sudah lima tahun bekerja di Papua juga ingin mengajak anak istrinya berlibur ke Papua selama sebulan, apalagi Linda belum pernah ke sana.
Setiap Ferry pulang dari Papua sebulan sekali, mereka pulang ke rumah orangtua Ferry di Bekasi. Setiap pulang, imbuh Linda yang sehari-hari tinggal bersama orangtuanya di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Ferry berusaha menggantikan semua tugas yang biasanya dilakukan Linda atau melakukannya bersama, termasuk memandikan Zia, mengganti popok, bahkan memasak.
“Dia lebih pandai memasak dibanding saya. Ferry juga lebih suka memasak daripada beli di luar. Kalau saya hobi beres-beres, terutama setelah dia memasak. Waktu berangkat ke Tanah Suci, Ferry enggak mau dibelikan ini-itu untuk bekal, kecuali kopi jahe dan wedang jahe instan,” ujar perempuan yang mengenal Ferry lewat temannya, Desember 2010.
Meski kehilangan belahan jiwa, meninggalnya Ferry saat beribadah di Tanah Suci membuat Linda bangga. “Mungkin ibadah Ferry tak sebagus ustaz atau orang yang pengetahuan agamanya lebih bagus darinya, tapi meninggalnya lebih bagus karena dipilih Allah untuk meninggal di sana. Mudah-mudahan khusnul khotimah,” doanya. Kini, ia berusaha mewujudkan keinginan Ferry untuk menyekolahkan Zia setinggi mungkin di sekolah yang bagus. “Ferry ingin dia sekolah lebih tinggi dari kami yang hanya lulusan S1. Semoga saya bisa mewujudkannya.”
Hasuna Daylailatu