Saat SMA, aku berjualan gantungan kunci, jam tangan, dan kerajinan tangan. Untuk kulakan, aku membelinya di Blok M. Setelah lulus SMA dan kuliah di Interstudi, aku berjualan jasa. Karena merasa bukan orang yang mampu dibanding teman-teman kuliah, aku menawarkan jasa untuk membuatkan tugas mereka. Waktu itu aku tidak punya komputer sendiri. Kalau mau mengerjakan tugas, harus pergi ke warnet dulu, tak jarang sampai tengah malam.
Namun, itu tak kuanggap masalah. Selain jadi lebih mahir dan familiar terhadap komputer, aku juga jadi punya penghasilan. Lumayan, aku bisa jajan dan membayar uang kos sendiri. Dalam seminggu, aku bisa mengerjakan tugas milik 4-5 orang. Kalau tidak salah tarif per tugas minimal Rp50 ribu. Kesukaanku mencari uang dengan berjualan tak berhenti sampai di situ. Setelah lulus D3 dan bekerja di bank tak lama kemudian, aku mulai berjualan parfum yang disuplai teman.
Ternyata jualanku laris, sampai-sampai omzetku tahun 2004 itu mencapai Rp10 juta per bulan. Semua pembukuannya kucatat, sehingga aku tahu selama tiga tahun berjualan parfum, omzetku tak kurang dari Rp700 juta. Tak hanya parfum, aku juga menjual tas, terkadang juga makanan dan baju. Pendeknya, alugada alias apa mau anpa sungkan aku berkeliling menawarkan daganganku dari satu lantai ke lantai lain di gedung tempatku bekerja.
Kebetulan, aku memang tidak punya rasa malu dalam hal ini. Ha ha ha. Dari hasil berjualan itulah aku jadi punya uang untuk meneruskan kuliah ke jenjang S1 di Jurusan Komunikasi Universitas Mercu Buana, Jakarta. Sejak awal bekerja, aku selalu menganggap bahwa menjalin komunikasi dengan orang lain adalah aset, karena kita tidak tahu seperti apa kehidupan kita kelak. Maka, pertemanan adalah harta yang berharga.
Apalagi, dalam agama juga disebutkan, silaturahmi mempermudah rezeki. Ternyata, setelah aku berbisnis, ungkapan itu benar adanya. Karena terbiasa berjualan, aku jadi mandiri. Mungkin kalau tidak pernah melakukannya, aku tidak akan punya bisnis sambal roa.
Tak Mau Berutang/p>
Kalau orang bilang aku bertangan dingin dalam berdagang, bisa jadi. Kupikir, larisnya barang daganganku selama ini lebih karena ada cinta di situ. Maksudnya, aku melakukannya sepenuh hati dan punya tujuan, sehingga hasilnya lebih terasa. Di sisi lain, sejak pertama kali bekerja, aku yang tak terbiasa memegang uang banyak, memilih untuk membeli emas, sedikit demi sedikit. Dari hasil menabung selama lima tahun, aku kemudian membeli tanah seluas 300 meter di Bekasi pada 2005. Sampai sekarang tanah itu masih ada, buat kenang-kenangan.
Seperti halnya orang lain, aku juga ingin suatu hari nanti memiliki usaha sendiri yang bisa jadi besar dan fokus pada produk tertentu buatan sendiri. Namun, dari mana memulainya, aku masih belum tahu waktu itu. Jadi, mana yang bisa kulakukan lebih dulu, kulakukan. Sampai akhirnya aku menemukan usaha di mana aku merasa klik, dan itu yang aku seriusi. Yang penting buatku, sebisa mungkin jangan berutang, bisnisnya berisiko rendah, dan dilakukan dengan jujur.
Kalau sudah dipercaya sebagai pedagang yang jujur, kita akan dicari. Tiap akhir tahun sebetulnya aku selalu membuat resolusi, dan sempat berkhayal macam-macam untuk bisnisku kelak, termasuk salon dan sebagainya. Ternyata ketemunya malah usaha sambal. Nah, pada awal berjualan sambal, semua untung yang didapat tidak pernah kupakai, melainkan kujadikan modal lagi. Toh, aku dan suamiku masih sama-sama bekerja. Aku juga enggak pernah berpikir kelak akan menjadi sebesar ini.
Yang kupikirkan, usaha ini harus jadi besar. Bagaimana caranya dan apa yang harus kulakukan untuk itu, urusan belakangan. Yang penting, aku enggak berutang dan merugikan orang lain. Alhamdulillah, sejauh ini aku tidak berutang untuk bisnis sambal ini. Para penyuplai bahan baku pun kubayar tunai, kecuali ikan roa yang kubayar sekitar 1-2 minggu kemudian. Aku juga bersyukur usahaku besar berkat para reseller> dan agen.
Mungkin karena kualitas sambalnya juga, ya. Aku juga memberikan kemudahan dan penghargaan bagi mereka, serta menjalin silaturahmi dengan mereka. Sehingga, sambalku ini ada “nyawanya”. Pernah kucoba menitipkannya di toko, tapi cara ini malah tidak berjalan lancar. Namun, kalau dibawa ke arisan, misalnya, malah laku.
Setiap kali membuat sambal, aku tidakp>
Namun, orang tersebut gigih berusaha. Aku baru sadar ternyata dia benar-benar serius ketika dia menyatakan keinginannya untuk melihat dapur dan mewujudkan hal itu dengan datang ke Indonesia. Saat itu, ia memesan enam ribu botol untuk pengiriman pertama ke Amerika. Semua surat dan kelengkapan dokumen untuk pengiriman dia yang mengurus. Sampai sekarang, sudah beberapa kali ia memesan.
Malah, sambal roaku ia ikutkan ke sebuah festival makanan pedas yang diadakan di sana, juga dimasukkan ke toko-toko Asia di Amerika. Di sana, ternyata banyak orang Meksiko dan Afrika yang menyukai sambalku. Selain ke Amerika, aku juga mengirim pesanan ke Australia. Ada pula yang menjual sambal roaku di Pasar Hamburg di Jerman, pasar tahunannya orang-orang Indonesia di sana. Sambal roaku juga dijual di Malaysia dan Singapura.
Alhamdulillah, khayalanku untuk menduniakan sambal roaku kini jadi kenyataan. Dulu, waktu aku memulai bisnis ini, sebetulnya sudah ada produsen sambal roa. Dan setelah Roa Judes mulai dikenal orang, ada yang menggunakan logoku. Kebetulan, sejak awal aku langsung mematenkan logo dan merekku. Dua kali kutegur, dia tetap menggunakan logoku. Akhirnya kudatangi dan kuajak bicara baik-baik. Syukurlah dia mau mengubahnya.
Kini, setiap bulan aku membutuhkan 300-500 kg ikan roa, jauh melebihi waktu aku berjualan pertama kali. Tentu aku tak mau berpuas diri dengan pencapaianku sekarang. Bukannya tak bersyukur, melainkan aku masih ingin terus mengembangkan usahaku. Masih banyak yang harus kulakukan. Namun, untuk sementara aku menunggu kelahiran anak ketiga kami yang kini tinggal dalam hitungan hari. Doakan usahaku makin sukses, ya.
Hasuna Daylailatu