Me Time Seru di Pasar

By nova.id, Sabtu, 24 Oktober 2015 | 06:41 WIB
Me Time Seru Di Pasar (nova.id)

Yang membuat Ellen juga senang berbelanja ke pasar adalah tak sedikit kios yang menerima pembayaran dengan kartu debit. “Jadi, kalau bawa uang cuma sedikit atau sudah habis, saya beli sayur secara tunai, sedangkan buah, telur, dan lainnya dengan debit,” imbuhnya.

Ditanya apa tak takut dicap nongkrong di tempat tak bergengsi, Ellen justru tertawa. Menurutnya, ada temannya yang tanya kenapa ia hobi main ke pasar. “Enggak tahu aja dia, pasarnya bersih dan enggak bau. Sehari bisa tiga kali dipel. Lagipula, kalau ditanya suami ada di mana? Kalau jawabannya di pasar masih manusiawi. Kalau jawabnya di mal, kesannya menghabiskan uang. Suami masih maklum kalau istrinya 2-3 jam ada di pasar sambil ngumpul, yang penting pekerjaan rumah beres,” jelas Ellen yang rela menghabiskan dana sekitar Rp100-200 ribu untuk mendapatkan “kemewahan” itu.

Bahkan, seolah ketularan ibunya, anak Ellen pun ikut senang ke pasar karena makanan kesukaan dan mainannya juga dijual di sana. “Suami saya juga senang ke pasar,” imbuhnya. Ibu tiga anak ini sendiri mengaku sudah sejak 6-7 tahun belakangan hobi ke pasar untuk minum kopi sambil berkumpul dengan teman-temannya, terutama setelah anaknya kelas 1 SD. Tak heran, ia punya empat kelompok teman yang berbeda dan setiap hari ada saja yang mengajaknya berkumpul di pasar.

Saking rajinnya ke pasar, perempuan yang dijuluki teman-temannya sebagai Lurah Pasar Modern BSD ini jadi akrab dengan para pemilik kios. “Kalau lagi buru-buru, muka harus lempeng biar enggak banyak disuruh mampir. Enggak enaknya, jadi enggak bisa nawar harga. Ha ha ha. Tapi karena kami enggak pernah nawar, biasanya malah diberi bonus,” pungkasnya sembari terkekeh.

Tiga Pasar

Tak hanya di Jakarta, di Yogyakarta Rini Andriani Khamidah juga memilih pasar tradisional. Sedikit berbeda, ia tidak menggunakannya sebagai tempat nongkrong bersama teman-teman, melainkan sebagai sarana edukasi dan sosialisasi bersama anaknya, selain tentu saja ibu rumah tangga yang tinggal di Griya Kencana Permai, Argorejo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta, ini menjadikannya tempat berbelanja berbagai kebutuhan sehari-hari.

Rini beralasan, seluruh kebutuhan rumahtangga dapat dipenuhi di pasar tradisional, mulai dari sayur mayur hingga peralatan rumah tangga. Rini juga menyukai pasar tradisional karena ada beberapa jenis barang atau kebutuhan yang tidak ditemui di pasar modern. Salah satunya jajanan pasar yang menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan jajanan pasar ini menjadi salah satu hal yang membuatnya terus datang ke pasar. “Yang khas itu, ya, jajanan pasar. Di pasar modern enggak ada. Kalaupun ada, pasti rasanya beda. Kadang sarapan di pasar juga,” ujarnya. Soal harga misalnya, selisihnya bisa sampai Rp2-4 ribu. Bagi ibu rumahtangga seperti Rini, ini sangat berpengaruh.

Keuntungan lain berbelanja di pasar tradisional adalah bisa menawar jika harga barang itu dirasa mahal. Transaksi ini memang sudah lazim di pasar tradisional sementara di pasar modern seluruh harga tidak bisa ditawar. “Pasar tradisional juga lebih dekat, bersih dan nyaman. Dan yang paling penting, di pasar tradisional harga barang bisa ditawar tidak seperti di supermarket,” katanya.

Dua hari sekali, Rini mengunjungi pasar tradisional. Bisa juga setiap hari ketika barang yang ia butuhkan banyak. Ada 3 pasar tradisional yang selalu dikunjungi Rini, tergantung kebutuhan. Jika kebutuhan banyak, ia akan menuju ke pasar besar dekat rumahnya yaitu Pasar Gamping.

Jika kebutuhannya banyak tapi hanya punya waktu luang sore atau malam hari, maka Pasar Ambarketawang Sleman menjadi pilihannya. Jika hanya untuk kebutuhan sedikit, maka Pasar Nulis menjadi sasaran. “Pasar Gamping dan Ambarketawang bisa dua sampai tiga kali seminggu. Sementara pasar Nulis karena lebih kecil untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harian atau yang cepat busuk seperti tahu, sayur bisa tiap hari ke sana tergantung kebutuhan, tinggal pilih,” ujarnya.

Anak Jadi Belajar

Jarak rumah ke Pasar Gamping dan Pasar Ambarketawang sekitar 4 km dari rumah, sementara jarak ke Pasar Nulis lebih dekat, sekitar 2 km. Waktu yang dihabiskan di pasar antara 1-2 jam. “Ini karena saya suka memilih barang berkualitas bagus. Jika di lapak satu kurang meyakinkan, saya mencari lapak lain dengan kualiatas barang yang lebih baik. Ke pasar sudah jadi rutinitas sehari-hari. Kalau sehari tidak ke pasar, seperti ada yang kurang. He he,” lanjut Rini.

Dana yang dihabiskan Rini di pasar berkisar Rp30.000- Rp150.000, tergantung kebutuhan. Yang jelas, dengan membeli sendiri di pasar, ia mengetahui harga dan kualitas bahan tersebut. “Nah, kalau pas harga kebutuhan sedang naik, saya bisa membantu suami dengan tidak belanja banyak-banyak.” Seringnya keluyuran ke pasar juga membuat Rini tahu tempat mana saja yang menjual bahan makanan yang berkualitas bagus.

Bagi Rini, pasar juga tempat untuk mengajar dan mengenalkan hal-hal baru pada anak. “Saya sering mengajak anak saya ke pasar. Ini juga untuk mengenalkan pasar tradisional pada anak, sekaligus berinteraksi langsung dengan orang lain seperti pedagang. Interaksi sosial di pasar tradisional sangat berbeda dengan di pasar modern. Interaksi di pasar tradisional berjalan sangat cair,” kata Rini.

“Pedagang, tukang parkir, kadang-kadang juga tetangga atau teman, saling mengenal dan bahkan menanyakan kabar keluarga jika tidak datang cukup lama,” katanya. Dengan berbelanja ke pasar tradisional, anaknya juga memiliki aktivitas luar ruang yang berbeda. “Ia juga jadi tahu proses pembuatan makanan secara langsung, mulai membeli bahan sampai diolah di rumah,” lanjut Rini.

Hasuna Daylailatu, Rubiya Alkhalida