Me Time Seru di Pasar

By nova.id, Sabtu, 24 Oktober 2015 | 06:41 WIB
Me Time Seru Di Pasar (nova.id)

Di salah satu kedai kopi di Pasar Modern BSD, Tangerang Selatan, Ellen Tanuwidjaya> (39) tampak asyik menyantap sarapan sambil mengobrol dengan teman-temannya. Waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi.

Tak lama, beberapa teman mereka yang juga perempuan, datang. Salah satu di antaranya mengeluarkan kotak makanan berisi kue lapis buatan sendiri dan meletakkannya di atas meja. Yang lain langsung bergiliran mengambil kue yang sudah dipotong-potong itu.

“Yang begini ini nih yang bikin kita rajin ngumpul. Beginilah kami, hampir setiap hari berkumpul di pasar, ngopi sambil mengobrol. Tiap kumpul, setidaknya ada 6-8 orang. Kalau sedang banyak, bisa 14 orang,” ujar Ellen lalu tertawa renyah.

Pasar tradisional kini memang tak lagi berkonotasi kotor dan bau. Pasar-pasar modern di Jakarta, yang notabene merupakan transformasi dari pasar tradisional, menawarkan tak hanya kenyamanan, tetapi juga kelengkapan fasilitas lain. Selain lorong-lorong yang bersih dan lega, pasar modern juga menyediakan bilik-bilik ATM, musala, dan toilet.

Belum cukup, pasar modern juga menyediakan deretan kedai makanan dari yang sederhana sampai yang berkonsep kafe, sehingga pengunjung pasar tak perlu khawatir bakal kelaparan saat berbelanja. Tak heran jika ada sebagian ibu-ibu yang tak hanya berbelanja barang kebutuhan sehari-hari tetapi juga melakukan aktivitas lain di sana, seperti yang dilakukan Ellen dan teman-temannya.

Me Time

Pasar menjadi pilihan Ellen dan teman-temannya untuk menghabiskan waktu setelah mengantarkan anak ke sekolah atau menjelang menjemput anak pulang sekolah. Kebetulan, ia dan teman-temannya memiliki beberapa persamaan. Selain anak-anak mereka bersekolah di sekolah yang sama, mereka juga tak memiliki asisten rumahtangga. Praktis, semua urusan rumah dan anak menjadi tanggungjawab mereka.

“Daripada stres di rumah melihat tumpukan baju yang harus diseterika dan rumah berantakan, lebih baik ke pasar dan ngumpul dengan teman-teman. Jadi, stresnya enggak sendirian karena banyak yang senasib. Sampai di rumah, udah enggak stres, anak dan suami pun ikut senang. Hitung-hitung, buat me time,” papar Ellen yang diiyakan teman-temannya.

Di pasar ini Ellen memiliki kedai kopi favorit di lantai atas. Maklum, mereka ini memang penggemar kopi. Yang tadinya tidak suka kopi pun, menurutnya, akhirnya jadi ketularan. “Selain kopinya enak, ruangannya ber-AC dan kami boleh membawa makanan dari luar. Kalau di tempat ngopi, kan, bisa lama ngobrolnya,” ujarnya sambil menambahkan, biasanya acara minum kopi dilakukan usai berbelanja.

Pasar dipilih Ellen dan teman-temannya karena strategis dan memiliki beberapa keuntungan sekaligus. Selain dekat dengan sekolah anak-anak mereka, pasar ini juga menyediakan berbagai barang yang mereka butuhkan. Semua yang dibutuhkan ibu-ibu, lanjutnya, lengkap tersedia mulai dari sayur, buah, sampai baju dan tempat yang nyaman buat berkumpul. Kalau salah satu dari mereka punya ide memasak menu tertentu, terkadang yang lain mencontek idenya.

“Kalau ada yang belum dibeli, tinggal beli sebentar ke kios, terus balik lagi ke tempat ngumpul. Makanya kami sampai sekarang lebih suka ngumpul di pasar, sambil curhat atau ngobrol soal pelajaran anak di sekolah. Kalau sayur dan buah, harganya memang terkadang lebih mahal dari supermarket, tapi kualitasnya jauh lebih bagus. Jangan salah, baju-baju yang dijual di pasar juga enggak kalah dari yang di pusat perbelanjaan,” tuturnya.

Lurah Pasar

Yang membuat Ellen juga senang berbelanja ke pasar adalah tak sedikit kios yang menerima pembayaran dengan kartu debit. “Jadi, kalau bawa uang cuma sedikit atau sudah habis, saya beli sayur secara tunai, sedangkan buah, telur, dan lainnya dengan debit,” imbuhnya.

Ditanya apa tak takut dicap nongkrong di tempat tak bergengsi, Ellen justru tertawa. Menurutnya, ada temannya yang tanya kenapa ia hobi main ke pasar. “Enggak tahu aja dia, pasarnya bersih dan enggak bau. Sehari bisa tiga kali dipel. Lagipula, kalau ditanya suami ada di mana? Kalau jawabannya di pasar masih manusiawi. Kalau jawabnya di mal, kesannya menghabiskan uang. Suami masih maklum kalau istrinya 2-3 jam ada di pasar sambil ngumpul, yang penting pekerjaan rumah beres,” jelas Ellen yang rela menghabiskan dana sekitar Rp100-200 ribu untuk mendapatkan “kemewahan” itu.

Bahkan, seolah ketularan ibunya, anak Ellen pun ikut senang ke pasar karena makanan kesukaan dan mainannya juga dijual di sana. “Suami saya juga senang ke pasar,” imbuhnya. Ibu tiga anak ini sendiri mengaku sudah sejak 6-7 tahun belakangan hobi ke pasar untuk minum kopi sambil berkumpul dengan teman-temannya, terutama setelah anaknya kelas 1 SD. Tak heran, ia punya empat kelompok teman yang berbeda dan setiap hari ada saja yang mengajaknya berkumpul di pasar.

Saking rajinnya ke pasar, perempuan yang dijuluki teman-temannya sebagai Lurah Pasar Modern BSD ini jadi akrab dengan para pemilik kios. “Kalau lagi buru-buru, muka harus lempeng biar enggak banyak disuruh mampir. Enggak enaknya, jadi enggak bisa nawar harga. Ha ha ha. Tapi karena kami enggak pernah nawar, biasanya malah diberi bonus,” pungkasnya sembari terkekeh.

Tiga Pasar

Tak hanya di Jakarta, di Yogyakarta Rini Andriani Khamidah juga memilih pasar tradisional. Sedikit berbeda, ia tidak menggunakannya sebagai tempat nongkrong bersama teman-teman, melainkan sebagai sarana edukasi dan sosialisasi bersama anaknya, selain tentu saja ibu rumah tangga yang tinggal di Griya Kencana Permai, Argorejo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta, ini menjadikannya tempat berbelanja berbagai kebutuhan sehari-hari.

Rini beralasan, seluruh kebutuhan rumahtangga dapat dipenuhi di pasar tradisional, mulai dari sayur mayur hingga peralatan rumah tangga. Rini juga menyukai pasar tradisional karena ada beberapa jenis barang atau kebutuhan yang tidak ditemui di pasar modern. Salah satunya jajanan pasar yang menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan jajanan pasar ini menjadi salah satu hal yang membuatnya terus datang ke pasar. “Yang khas itu, ya, jajanan pasar. Di pasar modern enggak ada. Kalaupun ada, pasti rasanya beda. Kadang sarapan di pasar juga,” ujarnya. Soal harga misalnya, selisihnya bisa sampai Rp2-4 ribu. Bagi ibu rumahtangga seperti Rini, ini sangat berpengaruh.

Keuntungan lain berbelanja di pasar tradisional adalah bisa menawar jika harga barang itu dirasa mahal. Transaksi ini memang sudah lazim di pasar tradisional sementara di pasar modern seluruh harga tidak bisa ditawar. “Pasar tradisional juga lebih dekat, bersih dan nyaman. Dan yang paling penting, di pasar tradisional harga barang bisa ditawar tidak seperti di supermarket,” katanya.

Dua hari sekali, Rini mengunjungi pasar tradisional. Bisa juga setiap hari ketika barang yang ia butuhkan banyak. Ada 3 pasar tradisional yang selalu dikunjungi Rini, tergantung kebutuhan. Jika kebutuhan banyak, ia akan menuju ke pasar besar dekat rumahnya yaitu Pasar Gamping.

Jika kebutuhannya banyak tapi hanya punya waktu luang sore atau malam hari, maka Pasar Ambarketawang Sleman menjadi pilihannya. Jika hanya untuk kebutuhan sedikit, maka Pasar Nulis menjadi sasaran. “Pasar Gamping dan Ambarketawang bisa dua sampai tiga kali seminggu. Sementara pasar Nulis karena lebih kecil untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harian atau yang cepat busuk seperti tahu, sayur bisa tiap hari ke sana tergantung kebutuhan, tinggal pilih,” ujarnya.

Anak Jadi Belajar

Jarak rumah ke Pasar Gamping dan Pasar Ambarketawang sekitar 4 km dari rumah, sementara jarak ke Pasar Nulis lebih dekat, sekitar 2 km. Waktu yang dihabiskan di pasar antara 1-2 jam. “Ini karena saya suka memilih barang berkualitas bagus. Jika di lapak satu kurang meyakinkan, saya mencari lapak lain dengan kualiatas barang yang lebih baik. Ke pasar sudah jadi rutinitas sehari-hari. Kalau sehari tidak ke pasar, seperti ada yang kurang. He he,” lanjut Rini.

Dana yang dihabiskan Rini di pasar berkisar Rp30.000- Rp150.000, tergantung kebutuhan. Yang jelas, dengan membeli sendiri di pasar, ia mengetahui harga dan kualitas bahan tersebut. “Nah, kalau pas harga kebutuhan sedang naik, saya bisa membantu suami dengan tidak belanja banyak-banyak.” Seringnya keluyuran ke pasar juga membuat Rini tahu tempat mana saja yang menjual bahan makanan yang berkualitas bagus.

Bagi Rini, pasar juga tempat untuk mengajar dan mengenalkan hal-hal baru pada anak. “Saya sering mengajak anak saya ke pasar. Ini juga untuk mengenalkan pasar tradisional pada anak, sekaligus berinteraksi langsung dengan orang lain seperti pedagang. Interaksi sosial di pasar tradisional sangat berbeda dengan di pasar modern. Interaksi di pasar tradisional berjalan sangat cair,” kata Rini.

“Pedagang, tukang parkir, kadang-kadang juga tetangga atau teman, saling mengenal dan bahkan menanyakan kabar keluarga jika tidak datang cukup lama,” katanya. Dengan berbelanja ke pasar tradisional, anaknya juga memiliki aktivitas luar ruang yang berbeda. “Ia juga jadi tahu proses pembuatan makanan secara langsung, mulai membeli bahan sampai diolah di rumah,” lanjut Rini.

Hasuna Daylailatu, Rubiya Alkhalida