Saya selalu bersemangat setiap kali melihat peluang. Begitu juga saat mendapat informasi tentang Lomba Wirausaha Kemenpora tahun 2007. Ditemani adik, saya mencari tahu keberadaan Kampus UI, lokasi pendaftaran kompetisi wirausaha itu. Berbekal tanya-tanya dan naik turun angkot, akhirnya saya tiba juga di Kampus UI di Depok, Jawa Barat. Saya kemudian mencari Fakultas Ekonomi.
Setiba di lokasi, saya agak terkejut melihat persyaratan yang diajukan. Peserta kompetisi harus berstatus sebagai mahasiswa S-1 atau S-2 dengan batas usia maksimal 30 tahun, sementara saat itu saya sudah berusia 32 tahun. Saya sempat beradu argumentasi dan memprotes panitia. Untungnya, saya akhirnya diperbolehkan ikut walaupun hanya berbekal ijazah SMA. Melihat kegigihan saya, saya akhirnya juga mendapat kompensasi soal usia dan diperbolehkan berpartisipasi dalam kompetisi ini.
Saya juga diminta mengisi pendaftaran via online. Nah, kalau soal internet, saya dibantu penuh oleh suami karena gaptek. Ha ha ha. Setelah menunggu pengumuman sekian lama, akhirnya datanglah kabar gembira itu. Saya berhasil masuk 100 besar dan diminta datang ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan dan tes seleksi selanjutnya selama dua minggu.
Ada perasaan senang dan sedih mendengar kabar itu. Senang karena saya berhasil, tetapi sedih juga karena saya enggak punya biaya untuk pergi ke Jakarta. Saya sempat meminta surat rekomendasi agar mendapat surat jalan dari dinas yang bisa membantu saya. Sayangnya, beberapa dinas yang saya datangi untuk meminta surat jalan ternyata menolak dengan alasan tidak memiliki anggaran lebih.
Akhirnya, berbekal modal nekat dan izin dari suami, mesin jahit satu-satunya milik kami pun kami jual dengan harga Rp150.000. Uang Rp100.000 saya gunakan untuk biaya pergi ke Jakarta, sementara yang Rp50.000 untuk uang saku anak saya di pesantren.
Dijemput Panitia
Bersama suami, saya pun berangkat ke Jakarta. Kami turun di terminal Pulo Gadung, Jakarta Utara, sementara kantor Kemenpora ternyata cukup jauh dan butuh biaya. Padahal, uang yang kami miliki sudah habis, benar-benar habis. Jadilah saya memberikan kabar lewat pesan singkat kepada panitia, meminta dijemput di Terminal Pulo Gadung. Setelah 4 jam menunggu, akhirnya pihak panitia menjemput saya dan suami, kemudian membawa ke hotel untuk beristirahat.
Kalau saya ingat-ingat, sepertinya saya enggak layak dibandingkan peserta lain. Peserta lain tiba dengan koper bagus beroda, sedangkan saya hanya membawa tas jinjing yang sudah bolong-bolong. Semua peserta mengikuti lomba menggunakan laptop, sementara saya hanya menjelaskan tanpa alat bantu apapun. Kalau ingat peristiwa itu saya beneran malu. He he he. Selama dua minggu, semua peserta digojlok oleh dewan juri yang memang kompeten.
Saya sebenarnya tidak menyangka bisa masuk 10 besar. Ada beberapa cerita yang tak bisa saya lupakan. Ketika diminta mempresentasikan proposal bisnis, saya yang gaptek pun berusaha menjelaskan tanpa alat bantu. Namun, ternyata itu membuat dewan juri semakin penasaran.
Lucunya lagi, saat ada pemeriksaan utang lewat bank checking, ternyata saya tercatat masih memiliki utang sebesar Rp2,8 juta. Ketika dewan juri mempertanyakan, saya pun menjelaskan dengan gamblang untuk apa uang tersebut lewat bisnis yang saya jalani. Saya bahkan mempertanyakan, sebesar apa kerugian bank dibandingkan dengan hasil saya memberdayakan kaum difabel.
Saya sampaikan bahwa saya memiliki kesulitan pasar dan tengah memperjuangkan sehingga utang tersebut masih belum terbayarkan. Kebetulan direktur bank tersebut ada dan mendengarkan panjang lebar penjelasan saya. Tak lama beliau mendekati saya dan mengungkapkan bahwa utang tersebut tidak akan masuk dalam daftar merah peminjam. Beliau bahkan meminta maaf dan berjanji ikut membantu apa yang telah saya lakukan untuk kaum difabel.
Dengan produksi yang terus meningkat dan pasar yang masih harus dicari, saya mulai membenahi manajemen. Makanya saya menganggap kompetisi ini merupakan peluang yang bisa saya manfaatkan. Saya berjanji, kalau menang, ini akan saya gunakan untuk kesejahteraan kaum difabel lewat bisnis perca.
Alhamdulillah, dengan usaha keras dan pantang mundur, jalan itu mulai terbuka. Saya memenangi kompetisi dan membawa uang hadiah sebesar Rp100 juta pada 28 Oktober 2007. Hadiah itu langsung diberikan oleh Menpora waktu itu. Di sinilah awal nama saya mulai dikenal media dan sejarah bisnis dengan manajemen yang lebih baik dimulai.
Makin Mantap
Penghargaan yang saya terima menjadi pemicu. Dengan modal 1 ton materi perca dan dibantu 300 anak difabel, produksi keset perca pun semakin meningkat. Dan berkat manajemen yang terorganisir, pemetaan distribusi juga semakin baik.
Uang hasil kompetisi akhirnya saya belikan bangunan rumah sebagai tempat workshop sehingga tidak perlu lagi membayar kontrakan. Walaupun masih sederhana dan hanya berukuran 3 x 6 m, tapi bisa menjadi galeri dan ruang pamer. Saya juga berniat membangun asrama untuk anak-anak difabel yang ada.
Rezeki ternyata kembali datang saat saya mampu menyelesaikan proyek kaus kampanye. Hasilnya langsung untuk merenovasi dan membuat bangunan lebih baik. Saya yakin dan optimis, perlahan namun pasti workshop, galeri dan asrama yang cantik bisa terwujud.
Tahun 2008, saya kembali mengikuti kompetisi dari Kemenpora dan mendapat penghargaan sebagai Pemuda Andalan Nusantara. Hadiahnya, saya diberangkatkan ke Australia. Saya juga terus membuat inovasi produk yang ada. Keset perca saya buat berbentuk karakter lucu-lucu. Harga jual juga semakin baik, mulai Rp8.000 sampai Rp200.000 untuk yang berkualitas ekspor. Pasar pun merespons keset perca karakter dengan baik. Permintaan dari berbagai kota besar di Indonesia pun mulai banyak.
Aktif Motivasi
Salah satu aktivitas saya yang lain adalah berbagi motivasi. Tak cuma di sekitar Jawa Tengah, tapi sampai ke pelosok daerah. Ini berkat kemunculan saya di salah satu TV nasional, yaitu program Kick Andy. Respons yang saya terima sangat besar. Banyak yang meminta datang dan memberikan motivasi. Saya bahkan diajak off air keliling beberapa daerah bersama Andy Noya.
Saya juga mendapat kesempatan berbagi motivasi bersama beberapa perusahaan besar dan kantor BUMN. Salah satunya Pertamina yang ternyata ikut membantu setelah mendengar saya tengah mengumpulkan uang untuk membangun asrama. Saat itu, Ibu Karen, yang masih menjabat sebagai Dirut Pertamina, menanyakan kebutuhan saya. Saya jawab saya tengah mengumpulkan dana untuk merenovasi bangunan menjadi workshop dan asrama yang nyaman untuk anak-anak difabel yang bergabung.
Berkat bantuan Pertamina, saya akhirnya berhasil membangun workshopdan asrama dengan galeri yang saya idamkan. Dan tepat di akhir tahun 2013, bangunan diresmikan oleh Ibu Rustriningsih yang menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah dan perwakilan dari Pertamina.
Toh, meskipun sudah tampil di berbagai perusahaan besar, saya masih aktif memberikan motivasi bagi ibu-ibu PKK atau Dharma Wanita, anak-anak jalanan, dan tempat-tempat lokalisasi. Saya berbagi tentang entrepreneurship. Saya tidak pernah mematok harga ketika memberikan motivasi.
Enggak cuma pengalaman manis yang saya terima, ada juga pengalaman tidak menyenangkan ketika menjadi pembicara. Suatu ketika, saya diminta memberikan pelatihan kepada anak-anak jalanan di salah satu kota. Pihak fasilitator memang sudah mengingatkan untuk berhati-hati menaruh barang atau menyimpan barang berharga.
Nah, saat makan siang tiba, saya pun memanfaatkan waktu untuk makan dan beristirahat. Begitu pelatihan akan dimulai kembali usai istirahat siang, betapa terkejutnya saya melihat mesin-mesin jahit hilang beserta para pesertanya. Ha ha ha. Ada juga pengalaman saat saya mendapatkan asisten anak jalanan yang juga hilang beserta uang hasil menjadi pembicara. Tapi saya tidak kapok memberikan bekal keterampilan membuat kerajinan perca kepada siapapun. Ini hanya segelintir duka yang saya jalani sebagai sosiopreneur.
Meneruskan Mimpi
Menjalankan bisnis memang tidaklah mudah, tetapi saya yakin dengan niat dan kerja keras pasti jalan terbuka. Begitupula dengan bisnis keset perca yang saya tekuni. Saya memang tidak berbicara berapa banyak target keset perca yang harus diproduksi, berapa besar omzet yang harus tercapai. Saya mengajak teman-teman difabel bekerja tidak sekadar mencari keuntungan materi, melainkan melatih mereka untuk bisa mandiri dan memiliki keyakinan yang sama bahwa bisnis itu bisa dilakukan oleh semua orang, tak terkecuali para difabel.
Masih banyak program yang ingin saya bisa lakukan ke depannya, seperti membangun minimarket yang menjual semua kerajinan para difabel dan dikelola oleh anak-anak difabel. Saya juga masih memiliki keinginan mendatangi pelosok daerah dan bertemu dengan teman difabel di daerah yang tak tersentuh untuk memberikan motivasi dan pelatihan.
Menjadi seorang sosiopreneur memberi saya bonus khusus, yaitu melihat keberhasilan orang lain. Itu sungguh menjadi kepuasan dan kebanggaan tersendiri bagi saya. Lewat bisnis kain perca, saya juga bisa membesarkan kelima anak saya dengan baik. Saya berharap, mereka bisa mengikuti jejak orangtuanya, bermanfaat untuk orang lain.
(TAMAT)
Swita Amallia