Quiqui dalam bahasa Makassar berarti rajut, mengquiqui berarti merajut. Dahulu, seni merajut identik dengan kegiatan ibu-ibu lanjut usia untuk mengisi waktu luang. Namun, kini berbeda. Seni yang sudah ada sejak abad ke-18 dibawa para pedagang Gujarat tersebut mulai digemari berbagai kalangan, dari ibu-ibu, para pekerja, sampai remaja bangku sekolah.
“Bagi kami, merajut adalah kegiatan yang sangat mengasyikkan. Tak hanya menyalurkan hobi di waktu senggang, tetapi juga ada nilai ekonomis yang bisa menjadi sumber penghasilan,” kata Fitriyani A. Dalay (34), pemilik rumah yang dijadikan markas KQ. Rumah perempuan yang akrab disapa Piyo itu sendiri tak hanya menjadi tempat berkumpulnya anggota KQ, tapi juga berbagai kegiatan sosial lain. Selain merajut, ada juga penerbit Ininnawa yang buku-bukunya berisi tentang kajian kawasan Sulawesi Selatan, kelompok diskusi studi perkotaan Komunitas Tanahindie, dan di teras rumah terdapat perpustakaan umum, Kampung Buku.
KQ berdiri tahun 2011. Saat itu, salah seorang teman Piyo bernama Eka yang sehari-hari ikut membantu mengelola perpustakaan menyempatkan diri merajut di sela-sela mengurus perpustakaan. Ia tertarik mencoba saat temannya mendapat kiriman segepok benang aneka warna dari Bandung. Benang-benang tersebut kemudian dijadikan bahan untuk membuat bermacam hiasan. “Saat itu saya mulai tertarik belajar. Pada dasarnya merajut itu tidak susah, jadi belajar sebentar sudah bisa,” tambah istri Anwar Jimpe Rahman (39) tersebut.
Tak hanya Piyo yang belajar merajut. Orang-orang yang biasa berkumpul di sana pun akhirnya melakukan hal serupa. Tak heran jika kemudian rumah tersebut menjadi ajang ngumpul untuk merajut, termasuk dokter gigi dan analis. “Kalau mereka tidak bawa benang, kami juga menjual benangnya. Pokoknya meriah, deh,” papar Piyo. Komunitas itu akhirnya diberi nama Quiqui.
Aktivitas di Quiqui pun kemudian diunggah ke Facebook. Ternyata, dampaknya luar biasa. Para perempuan dari berbagai kawasan di kota Makassar berdatangan. Tujuannya bermacam-macam, tak hanya belajar merajut, tetapi terkadang mereka sengaja datang untuk mencari teman atau melihat teknik terbaru.
“Ada yang sudah bisa, bahkan sudah mahir, tetapi karena tidak enak merajut sendirian di rumah, jadi mereka datang kemari mencari teman biar makin seru. Ketika pertama kali datang, di antara mereka tidak saling kenal satu sama lain. Baru makin akrab kalau sudah saling merajut dan tukar pengetahuan,” papar Piyo, tamatan Sastra Inggris Universitas Hassanudin.
Berbagi Pengalaman
Uun Fahirah (48) contohnya. Pertama kali belajar merajut justru ketika berada di Jepang mendampingi suaminya, seorang dosen di Unhas, melanjutkan pendidikan. Di saat senggang, ibu dua anak itu ikut kursus sulam pita. Setelah kembali ke Makassar tahun 2012, Uun melihat di Makassar ada komunitas merajut. Dia pun lantas bergabung untuk belajar. Di kesempatan berbeda, gantian dia yang berbagi pengalaman mengajari teman-temannya sulam pita.
Menurut Uun, ada satu hal yang membuat dia suka kegiatan merajut. “Ketika merajut, saya merasa waktu adalah milik saya sendiri, enggak ada yang ganggu. Karena itu kegiatan ini saya lakukan setelah pekerjaan rumah lainnya selesai,” ujarnya.
Begitupun Alfu, seorang ibu muda. Ia tertarik merajut sejak tahun 2011 setelah melihat KQ dari internet. Begitu melihat, Alfu kemudian belajar sendiri di rumah dan baru bergabung KQ setelah bisa sedikit. Istri dari seorang PNS di Dinas Kelautan di Makassar itu merasa lebih asyik begitu memperdalam seni rajut.
Berbagai macam kerajinan pun sudah dihasilkan dari tangannya, kadang dijual di berbagai pameran di Makassar atau dimanfaatkan sendiri. “Jaket anak yang saya buat sendiri, malah lebih puas,” jelas Alfu yang biasa merajut malam hari sambil melihat teve.
SementaraDiah (28), yang bergabung dengan KQ pada 2012, lebih banyak rajutan boneka, burung, dan sebagainya. Sama seperti Alfu, barang-barang hasil rajutannya pun kadang dijual atau dijadikan hadiah ulang tahun teman atau kerabat. “Kalau harganya cocok, baru dijual,” katanya sambil tersenyum.
Bom Benang
Tahun 2012, aktivitas merajut di Makassar mencapai puncaknya. Kegemaran itu melanda remaja hingga orang dewasa. Bahkan saat itu ada istilah di kalangan remaja, ‘kalau anak remaja tidak bisa merajut itu namanya tidak keren.’ “Saat itu tak cuma hari Minggu, hari-hari biasa pun ada saja yang datang. Biasanya mereka adalah anak-anak SMA sepulang sekolah. Seru sekali,” kata Piyo.
Bagi Piyo, ada sebuah kebanggaan rumahnya bisa menjadi tempat berkumpul sekaligus melakukan kegiatan-kegiatan positif. Apalagi setelah berkumpul, para wanita yang semula tidak saling mengenal itu bisa saling berinteraksi dan berbagi pengetahuan. Misalnya, yang semula hanya menguasai teknik dasar akhirnya belajar lagi. Demikian pula mereka yang bisa merajut pita, akhirnya berbagi pengalaman, demikian seterusnya.
Jenis barang yang dibuat juga lebih variatif. Jika biasanya hanya membuat taplak, hiasan meja, tutup galon, atau pembungkus kotak tisu, kemudian mencoba membuat boneka binatang, hiasan bunga timbul, dan sebagainya. Selain sharing sesama teman, mereka juga belajar melalui kanal Youtube atau buku. Dalam perjalanannya, nama KQ tersebar luas melalui dunia maya, baik Twitter, Instagram, radio, serta media cetak di Makassar.
Yang menarik, saat berkumpul, para anggota komunitas tidak hanya berbicara soal merajut saja tetapi sekaligus juga membahas banyak hal, mulai persoalan sosial kemasyarakatan, masalah perempuan, bahkan membahas masalah keluarga masing-masing sebatas yang bisa disampaikan.
Sifat dari komunitas KQ sendiri cair, siapapun bisa bergabung, hubungannya setara karena tidak ada ketua maupun pengurus lain, dan semua anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama. “Yang aktif sekali sekitar 10 orang, lainnya yang keluar masuk belajar merajut ratusan orang,” papar Piyo.
Piyo melihat bahwa kerajinan merajut tidak sekadar untuk mainan tetapi memiliki nilai ekonomi karena hasilnya bisa dijual. “Karena itu banyak yang semula merajut hanya untuk mengisi waktu luang, kemudian justru merajut mengambil seluruh waktunya,” papar Piyo yang di tahun 2012 membuat acara “Bom Benang.”
Waktu itu, bersama KQ dia membuat kain rajut berukuran raksasa yang dibentangkan di tengah-tengah Taman Segitiga di Jl. Sultan Hassanudin, Makassar. Bentangan kain aneka warna itu bisa dilihat dari berbagai arah. Saking besarnya ukuran kain, media menyebutkan andaikata diurai, panjang benang rajutan setara dengan jarak kota Makassar sampai Kabupaten Maros. “Sampai sekarang event itu tetap kami laksanakan antara Juli sampai Desember,” imbuh Piyo yang sedang menyiapkan karya untuk pameran karya seni Jakarta Bienalle dalam waktu dekat.
Gandhi Wasono M.