Namaku Fransiskus Subihardayan. Aku sering disebut dalam pemberitaan akhir-akhir ini karena menjadi salah satu korban jatuhnya helikopter jenis Eurocopter B4 Call Sign PKE -KA milik perusahaan PT PAS dari Samosir menuju ke Kualanamu, Minggu (11/10) lalu. Aku masuk dalam daftar nama korban bersama Capt. Teguh Mulyanto, Hari Poerwanto, Nur Haryanto dan Sugiyanto.
Aku tidak punya firasat apa pun saat naik helikopter. Semuanya biasa-biasa saja, bahkan klien perusahaan, Melihat Simbolon, senang dengan servis kami saat itu. Apalagi pagi harinya aku sempat BBM-an dengan ibuku, Fransiska Sri Handayani, menanyakan kabar dan juga rencana pulang ke rumahku di Kalasan, Yogya.
Aku memang berencana pulang pada Senin (12/10), usai pekerjaanku selesai semua di Medan. Namun, kenyataan berkata lain. Saat sampai di sekitar Danau Toba, helikopter yang kutumpangi tiba-tiba tertutup kabut. Pilot kami tidak bisa mengetahui kondisi alam di depan. Karena aku tidak menggunakan headset seperti yang dikenakan pilot, aku tidak bisa mengetahui apa saja percakapan pilot dan kru. Yang jelas saat itu pilot langsung mengambil langkah belok ke kiri karena kabut yang tebal menutupi jarak pandang.
Namun nahas, pada belokan ke kiri yang kedua, helikopter ternyata sudah berada di atas permukaan air. Aku bersama pilot dan pamanku, Nur Haryanto, pun langsung menyelamatkan diri. Kami menceburkan diri ke Danau Toba dan selamat dari jatuhnya helikopter itu. Kami muncul ke permukaan air bersama dan mengambil jok helikopter untuk bertahan di atas air. Bersama kru lainnya, aku sempat bertahan selama dua jam. Aku juga sempat meminta pamanku supaya tidak banyak bergerak demi menjaga stamina supaya tidak cepat lelah saat di atas permukaan air.
Tidur di Air
Akan tetapi, tiba-tiba datang gelombang tinggi yang membuatku terpisah dari paman. Aku bersama Pak Sugiyanto terlepas dari kelompok. Tapi akhirnya aku juga harus terpisah dari Pak Sugiyanto juga. Aku mengapung sendirian di tengah danau paling besar di Nusantara ini. Sendirian membuatku justru berani dan bisa berpikir jernih. Sampai akhirnya aku menemukan enceng gondok di sekitarku. Aku masukkan enceng gondok sebanyak-banyaknya ke dalam bajuku.
Aku berharap, dengan memasukkan seluruh enceng gondok ke dalam baju badanku bisa tetap mengambang saat aku tidak kuat lagi. Ternyata langkahku ini cukup ampuh dan membuatku bertahan di atas permukaan air. Ide ini kudapat saat ikut pelatihan survivor waktu kelas satu SMA dulu.
Aku tidak menjumpai sesuatu yang bisa kumakan agar bisa menambah energi untuk berenang dan bertahan di atas air. Tapi aku terus mencoba berenang menuju ke Barat. Aku memilih arah Barat karena kami pergi ke arah Timur sehingga kuanggap helikopter jatuh di sebelah Timur. Maka aku harus berenang ke arah Barat, begitu pikirku. Karena jika aku memilih arah Timur, aku akan semakin jauh dan tim evakuasi akan kesulitan mencariku nanti.
Aku hanya minum air. Air danau itulah yang menjadi energiku selama tiga hari ke depan. Awalnya aku berpikir untuk memakan enceng gondok. Namun, bagaimana kalau enceng gondoknya ternyata beracun? Maka, kuhentikan niatku makan enceng gondok. Praktis aku hanya mengandalkan air Danau Toba selama mengapung. Sementara kondisi di lokasi itu masih diselimuti kabut tebal, bahkan di siang hari sekalipun.
Aku juga menghemat tenaga dengan tidak banyak bergerak dan memilih tidur. Aku sempat menyerah dan pasrah pada Tuhan. Di malam hari saat aku lelah dan capai, aku bilang kepada Tuhan, aku telah siap bertemu dengan-Nya. Lalu aku seperti diminta untuk tidur. Akhirnya, malam itu aku tertidur. Pagi harinya ternyata mataku masih melihat kondisi danau Toba. Padahal aku sudah tidak sanggup lagi.
Marah pada Tuhan
Aku sempat marah pada Tuhan karena dibiarkan tersesat sendirian di Danau Toba. Aku marah karena Tuhan membiarkan hamba-Nya mengalami kecelakaan seperti ini. Aku marah sekali kepada Tuhan dan terus menyalahkan Tuhan. Kenapa Tuhan yang Maha Penolong dan Maha Baik membiarkan hamba-Nya dibiarkan telantar di danau?
Akhirnya, aku melihat lampu-lampu rumah. Aku mengira Tuhan memang akan membiarkanku selamat. Namun, semakin lama badanku semakin lemas. Kugerakkan badan ini menuju ke arah lampu-lampu rumah itu, tapi aku tidak sanggup lagi berenang. Akhirnya aku kembali tertidur. Di antara sadar dan tidak sadar itu aku mengalami halusinasi. Rasanya, aku sudah berada di pinggir danau Toba sedang duduk-duduk dan melihat lalu lalang kapal feri dan speedboat.
Pagi harinya, aku terbangun kembali. Kulihat jam tangan mengarah di angka tujuh. Aku kaget karena aku benar-benar melihat daratan Danau Toba. Aku langsung berenang ke arah daratan. Setengah putus asa, tahu-tahu aku terbangun dan sudah berada di atas kapal boat milik TNI AL. Ya, aku selamat!
Penantian dan perjuanganku akhirnya dijawab Tuhan. Aku sempat tidak yakin selamat sampai akhirnya aku berada di rumah sakit. Saking senangnya, aku masih melayani pertanyaan para wartawan sesaat sampai di rumah sakit.
Aku ditemukan di hari ketiga dalam keadaan telanjang. Padahal seingatku, pada hari ketiga masih pakai kaus. Sebelumnya bahkan aku masih menggunakan pakaian lengkap, kaus, celana panjang dan sepatu. Entahlah, badanku juga sangat licin karena mulai dibalut lumut. Banyak hal yang di luar logika yang kualami. Yang jelas ada pertolongan dan campur tangan Tuhan di sini. Aku seperti mendapatkan kehidupan kedua.
Aku pun mulai menghubungi keluarga. Yang pasti aku hubungi ibuku yang sudah sangat merindukanku. Aku beruntung masih bisa bertemu ibu, kerabat dan teman temanku lagi. Ini benar-benar kuasa Tuhan. Tuhan menjamah sendiri hamba-Nya dan ini mukjizat.
Baret Kehormatan
Tiga hari dua malam terapung di air membuat Ketua Tim SAR Serma Totok memberiku baret. Baret ini merupakan sebuah penghargaan khusus, sebagai tanda bahwa aku diterima menjadi anggota keluarga kehormatan Marinir TNI AL. Katanya, dia bangga aku bisa selamat sampai 3 hari. Pesannya, gunakan baret ini sebaik-baiknya. Selain itu juga selalu ingat dengan Tim SAR di Medan. Kami pun sering berkomunikasi dengan baik sekarang.
Setelah kondisi badanku pulih, aku memutuskan pulang bertemu ibu dan keluargaku. Minggu (18/10) sore, aku terbang dari Medan menuju Jakarta terus ke Yogya. Sampai di rumah sekitar pukul 19.30 malam, kulihat seluruh keluarga berkumpul menyambutku. Kami berkumpul dalam suka dan duka. Sebab hingga saat ini pun pamanku, Nur Haryanto, belum juga ditemukan, termasuk pilot dan awak lainnya. Aku hanya berdoa semoga Tuhan juga menyelamatkan yang lainnya.
Aku butuh seminggu untuk bisa kembali bekerja lagi. Walaupun diberi waktu leluasa untuk beristirahat, namun aku tetap bersikap profesional. Aku akan segera mengurus keperluan administrasi yang hilang, seperti KTP, SIM, ATM dan lainnya. Minggu ini pun aku sudah berencana bekerja lagi. Aku juga akan menggunakan waktu ini untuk refreshing bersama keluarga.
Kini, aku hanya berharap paman dan para awak lainnya selamat. Aku berharap mukjizat itu datang lagi... Percaya Setelah Lihat Foto
Fransisca Sri Handayani, ibunda Frans mengaku mengetahui kabar bahwa anaknya menjadi korban jatuhnya Helikopter Eurocopter B4 call sign PKE-KA carteran milik PT PAS di danau Toba, Sumatera Utara, dari pemberitaan di televisi. “Perasaanku tidak karuan karena kabar itu tidak pernah kuharapkan,” akunya. Sisca tidak memiliki firasat apa pun. Fransiskus adalah lulusan STM Penerbangan Yogyakarta tahun 2011 dan sudah bekerja di PT PAS selama 3 tahun. Ia bertugas sebagai Helikopter Landing Ofiicer (HLO). Tugasnya sebetulnya tidak banyak berada di udara karena hanya mengisi kebutuhan helikopter di darat dan memasang sabuk pengaman penumpang,
Setelah dicek melalui perusahaan dan orang di Medan, lanjutnya, ternyata benar helikopter itu adalah helikopter yang ditumpangi Frans. “Aku gemetar, wajahku pucat, dan akhirnya aku pingsan. Karena tidak hanya buah hatiku yang berada di sana. Kakak kandungku pun ada di helikopter yang sama. Aku merasa mendapat ujian yang besar sekali,” akunya. Saat itu Sisca baru tahu bahwa helikopter yang ditumpangi Frans mulai hilang kontak setelah terbang dari Desa Siparmahan, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir menuju Bandara Kualanamu.
Tak lama, kerabat pun mulai berdatangan ke rumah untuk memberikan support. Saat itu, pemerintah atau pihak terkait belum memberikan keterangan resmi tentang nasib Frans dan Nur Haryanto, kakak kandung Fransisca. Sisca pun harus menunggu kepastian berhari-hari. Setiap hari, ia terus memanjatkan doa untuk anak dan kakak kandung tercintanya. “Apalagi kulihat di televisi, pada hari pertama dan kedua tim evakuasi mengalami kesulitan mencari lokasi jatuhnya pesawat.”
Akhirnya, tepat di hari ketiga, kabar ditemukannya Frans didengar oleh Sisca. Namun tetap saja ia tidak percaya dan belum yakin karena tidak ada foto atau bukti anaknya ditemukan dalam keadaan selamat. Sisca baru lega saat adiknya menunjukkan foto Frans yang tengah dibawa tim SAR ke kapal dalam keadaan selamat.
“Oh, rasanya seperti mukjizat benar-benar datang ke rumah dan kehidupanku. Doa yang selama ini kupanjatkan didengar Tuhan. Bagaikan menikmati es di tengah padang gurun,” kata Sisca yang sempat kontak dengan Frans melalui telepon. “Itu seolah mengobati keringnya rindu hati ini. Aku seolah mendapatkan kehidupan baru dengan anakku. Aku senang Frans tidak mengalami luka yang berarti dan sudah mendapatkan perawatan yang bagus.”
Minggu (18/10), tepat sepekan sejak musibah itu, Frans terbang ke Yogya. “Aku menjadi orang yang paling bahagia malam itu,” kata sang ibunda. Selain Sisca, teman-teman dan jemaah gereja pun datang memberikan selamat.
Rubiyanto Alkhalida