Oleh-oleh Pacitan, Produksi 3 Kuintal Tahu Tuna

By nova.id, Sabtu, 7 November 2015 | 03:27 WIB
Tahu Tuna Inggil (nova.id)

Bermodalkan coba-coba, Sri Sumiyati pun membeli tahu dan membuat tahu tuna untuk konsumsi pribadi. “Saya, kan, sudah bisa membuat bakso. Cara membuat tahu tuna pun hampir sama, cuma karena bahan dasarnya tahu, jadi enggak langsung berhasil. Beberapa kali gagal mencoba kulit tahu tetap garing, alhamdulillah akhirnya ketemu formula yang pas. Mulailah kami menjual tahu tuna,” katanya.

Bahan baku utama tahu tuna adalah ikan tuna. Ikan tuna yang dipilih adalah ikan tuna segar berukuran besar sehingga mudah dalam proses filletfillet, daging ikan digiling agar lembut kemudian dicampur dengan tepung tapioka dan bumbu rahasia. Adonan yang telah siap kemudian didiamkan dalam ruangan berpendingin. Adonan ini kemudian dimasukkan ke dalam tahu pilihan yang sudah dilubangi. Tahu berisi adonan ikan tuna tersebut kemudian direbus hingga tahu mengapung. Tahu Tuna yang sudah jadi ini pun lalu dikemas.

Tahun 2009, dengan modal uang Rp50.000 untuk membeli 10kg ikan tuna, Sri mulai menjual tahu tuna. Ternyata produk tahu tunanya laris di pasaran. Apalagi, saat itu tahu tuna miliknya merupakan satu-satunya di Pacitan sehingga permintaan pun terus meningkat. “Titik baliknya tahun 2010, ketika ada kunjungan dari Dinas Perikanan. Mereka merekomendasikan bantuan seperti penggiling, pengadon dan sanitasi. Sejak saat itu produksi tahu tuna meningkat tajam. Dan karena peluangnya juga besar, saya pun fokus mengembangkan tahu tuna dan bakso, tidak jualan ikan segar lagi,” cerita perempuan yang hobi masak ini.

Kini, produksi tahu tuna Pak Ran sudah mencapai 3 kuintal. “Kami hanya fokus mengembangkan tahu tuna dan bakso tuna. Kebetulan, tahun 2011 kami diberi amanah oleh Kementerian Kelautan untuk memberikan pelatihan membuat tahu tuna kepada masyarakat lewat lembaga P2MKP.

Setidaknya, dalam setahun ada 2 kali pelatihan dengan peserta kurang lebih 20 orang ibu-ibu. Bisnis tahu tuna pun menjadi peluang yang terbuka bagi siapa saja. Tak heran kalau akhirnya bisa jadi oleh-oleh khas kota Pacitan,” katanya bangga.

Sebagai pioner pembuat tahu tuna, pasangan suami istri ini menggunakan merek Eza Mandiri. “Nama anak kami Muhammad Reza Abidin, biasa dipanggil Eza. Jadi, kami jadikan merek dan menjadi doa,” ucapnya sambil tersenyum.

Soal kompetitor, pasangan ini sepakat menyikapinya dengan bijak. “Rezeki itu sudah diatur Tuhan kok. Pelatihan sudah ada, termasuk untuk olahan lain. Kalau mau melihat proses produksi boleh, tidak ada yang disembunyikan. Kemarin datang dari Tulungagung pengin tahu proses produksi dan belajar di sini. Info terakhir dari Ibu Bupati ada 61 perajin tahu tuna yang aktif, saya sih jadi ikut bangga karena bisa mengolah potensi yang ada dan bermanfaat untuk yang lain,” ungkap Sri rendah hati.

Tahu Tuna Eza Mandiri bisa ditemukan hingga di Papua. “Beberapa waktu lalu ada perusahaan yang mengirim logistik ke Freeport, jadi sudah sampai ke sana. Pelanggan yang beli untuk oleh-oleh ke luar negeri juga banyak,” kata Sri yang saat ini dibantu 26 orang karyawan. Tahu tuna produksinya bisa diperoleh dengan harga mulai dari Rp7.500. Alifa Bakery 3500 Loyang Pesanan

Akrab dengan baking sejak kecil menjadikan Mila Ardhie lihai dan piawai membuat cake. Sayangnya, karena harus menuntut ilmu di jurusan Farmasi di Yogya, Mila jadi jarang mengolah cake. Usai lulus kuliah, Mila langsung disibukkan dengan pekerjaan sebagai apoteker sejak tahun 2005. Kegiatan baking pun dilakukannya di penghujung minggu sebagai penawar rindu.

Mila cukup sering membagikan cakeolahannya kepada teman-teman kantor ataupun untuk atasannya. Didukung atasannya di apotek yang melihat potensi Mila, orderan pun mulai berdatangan. “Orderan datang dari beliau, tapi dulu saya buat tart dan brownies. Saya mulai mengerjakan pesanan sepulang kerja sekalian refreshing,” katanya.

Dibantu sang suami, Ali Mustofa, pemasaran cake Mila pun semakin besar, termasuk memasarkan via BBM. “Kini berkembang jadi bakery. Awalnya ditantang suami. Pas jalan-jalan ke ritel besar, ditanya, “Bisa enggak buat roti kayak gitu?” Saya pun bilang bisa asal belajar. Akhirnya saya kursus privat selama dua hari. Setelah bisa, langsung dapat pesanan. Alhamdulillah. Ha ha ha,” katanya tertawa.

Mila ingat betul, order bakery pertamanya datang dari Ibu Bupati Pacitan untuk sebuah acara dinas. Kemudian berlanjut dengan pesanan pribadi untuk acara ulang tahun. “Awalnya dari 25 boks, kemudian jadi 175 boks dan bertambah saat Pak SBY pesan 400 roti. Waktu itu Pak SBY masih jadi Presiden. Order terbanyak Agustus lalu, 5 ribu roti,” ceritanya.

Perkembangan bisnis bakery Mila semakin menunjukkan hasil sejak tahun 2013. “Bakery ini saya beri nama Alifa seperti nama anak sulung saya. Awalnya cuma dibantu dua orang dan menyewa toko, tetapi produksi masih di rumah. Kemudian, saya bisa kembali menyewa tempat tepat di sebelah toko, saya jadikan workshop. Dapur cake dan bakery terpisah, satu lagi untuk toko,” jawab ibu dua anak ini.

Ketika membuat variasi cake, Mila terpikir membuat banana cake. ”Ternyata, banana cake-nyabooming, bahkan mengalahkan bakery. Orang Pacitan sepertinya suka yang berbahan dasar pisang. Alhamdulillah, setiap hari produksi hingga 40 loyang banana cake dan selalu habis. Kalau produksi bakery hanya sekitar 8kg hingga 10kg saja. Rekornya bulan lalu dapat pesanan hingga 3.500 loyang banana cake, itupun masih ada yang mau pesan, sampai harus saya tolak,” kata Mila saat ditemui di toko Bakery Alifa di Jalan Yos Sudarso, Bangunsari, Pacitan. Banana cake dipatok dengan harga Rp15.000.

Mila tak menyangka, banana cake olahannya dikenalkan sebagai oleh-oleh khas dari Pacitan. “Dari dulu pesanan datang karena memang mau dijadikan oleh-oleh. Terjauh mungkin ke Kalimantan,” katanya. Ke depan, Mila ingin fokus mengembangkan banana cake agar semakin dikenal.  

Swita Amalia