Cerebral Palsy yang Hapal 30 Juz, Cita-cita Jadi Imam Masjidil Haram

By nova.id, Minggu, 8 November 2015 | 04:25 WIB
Fajar mengisi waktu istirahat di kelas dengan berjalan-jalan di halaman didampingi pengasuh dan ibunya. (nova.id)

Memiliki buah hati adalah anugerah terindah yang dikaruniakan Allah kepada setiap pasangan suami-istri. Begitupun denganku. Aku dan suamiku, Joko Wahyudiono, telah menanti kehadiran buah hati selama setahun. Tepatnya kami menikah pada 22 Oktober 2002, dan 2 Oktober 2003, buah hatiku lahir. Putraku lahir prematur saat kandunganku masih berusia 7 bulan. Fajar Abdul Rokhim Wahyudiono, begitulah nama anak laki-lakiku. Karena prematur, Fajar terlahir dengan berat badan 1,6 kilogram.

Karena usia kehamilan yang masih muda, organ tubuhnya pun belum tumbuh sempurna. Untuk memulihkan kondisinya, ia harus dirawat lebih dulu selama 20 hari di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) dan 10 hari di ruang perawatan. Sementara aku sendiri diperbolehkan pulang.

Sebagai manusia ciptaan Allah, aku dan suamiku hanya berdoa dan berikhtiar bagi kesembuhan anak tercintaku. Kami meyakini bahwa obat yang paling ampuh untuk segala macam penyakit adalah Alquran. Akhirnya, aku dan suamiku memutuskan selalu memperdengarkan Fajar lantunan ayat-ayat Alquran. Setiap hari, dua kali suamiku mengirimkan ASI ke rumah sakit, dan saat itulah ia selalu memperdengarkan ayat-ayat Alquran melalui kaset murotal. Ini terus kami lakukan selama sebulan. Selain itu, suamiku juga menyempatkan mengaji sebanyak setengah juz setiap hari di ruang perawatan.

Kami juga meminta perawat untuk memperdengarkan Fajar alunan ayat suci Alquran. Kaset murotal itu sengaja kami titipkan kepada perawat supaya diputarkan. Setelah sebulan dirawat di rumah sakit di Bandung, akhirnya anakku diperbolehkan pulang.

Puji syukur alhamdulliah kupanjatkan kepada Allah. Saat berada di rumah itu, aku pun masih sering memutarkan murotal Alquran kepada Fajar. Kami menyadari bahwa bayi kecil ini memiliki sifat peniru yang baik, namun belum bisa membedakan mana hal yang baik dan buruk. Kami, sebagai orangtuanyalah yang berkewajiban mengenalkan hal-hal yang baik.

Divonis Cerebral Palsy

Aku dan suamiku sama sekali tidak curiga dengan tumbuh kembang anakku saat itu, karena bentuk tubuhnya kelihatan normal. Namun, lambat laun aku merasa bahwa anakkku ini mengalami gangguan tumbuh kembang. Fajar baru bisa duduk di usia setahun. Akhirnya kami memutuskan membawa Fajar ke dokter anak. Kala itu dokter mengatakan bahwa tumbuh kembang anakku memang agak terlambat. Ia tidak mengatakan Fajar ini menderita Cerebral Palsy (CP). Aku pun percaya dengan ucapan sang dokter.

Suatu waktu, aku bertemu seorang teman. Temanku itu kemudian menyarankan untuk membawa Fajar periksa ke Puspa Suryakanti di Bandung. Berdasar pemeriksaan itu, Fajar divonis menderita CP. Aku dan suamiku kaget dan sedih. Anakku yang masih kecil ini harus menderita CP? Meski berat, namun aku berusaha menerimanya dengan positif. Aku berusaha untuk berikhtiar. Allah pasti memberikan cobaan ini dengan maksud dan tujuan tertentu. Bagiku ini adalah takdir Allah yang harus kujalani.

Tak ingin tenggelam dalam kesedihan, aku pun berusaha memberikan yang terbaik untuk putraku. Setiap hari aku mengantarkannya terapi untuk memaksimalkan tumbuh kembangnya. Aku dan suamiku selalu memberikan motivasi. Sebagai orangtua, kami tidak memberikan kata-kata kasar ataupun yang tidak enak didengar. Kami juga jarang menyalakan televisi untuknya. Jika pun dia ingin menonton, aku pasti mendampinginya. Aku harus menyeleksi program-program televisi yang memang mendukung perkembangan anakku. Sementara itu, memperdengarkan murotal Alquran masih menjadi kegiatan wajib untuk Fajar.

Bisa Mengaji

Alhamdullilah, melalui alunan ayat Alquran, refleks Fajar berkembang maksimal. Suatu waktu aku kaget, karena ia mengaji. Ketika itu aku sedang memasak di dapur. Aku seperti mendengar suara orang mengaji. Kala itu suamiku bekerja. Ternyata, alhamdulliah, yang tengah mengaji itu adalah anakku! Dia lancar bisa mengaji. Padahal, kosakata yang bisa diucapkannya terbatas.

Berangkat dari hal itulah, aku dan suami memutuskan untuk mendatangkan guru mengaji. Tapi, guru mengaji Fajar sempat gonta-ganti. Ya, Fajar memang harus cocok dengan guru mengajinya. Jika tidak cocok, Fajar tidak mau menghapal. Dengan beberapa guru mengaji, Fajar melakukan setoran hapalan. Berdasar pengakuan para guru mengaji itu, Fajar ini memang sudah hapal namun belum urut hapalannya.

Suatu ketika, aku harus pindah ke rumah orangtua karena ayahku meninggal. Aku pun boyongan menemani ibu. Di rumah ibu itu, ternyata ada kebiasaan yang selama ini tidak rutin kami lakukan . Di rumah ibu, televisi selalu menyala. Akhirnya, karena tidak ingin mengganggu perkembangan Fajar, aku dan suami membelikan Fajar laptop.

Kami tetap memperdengarkan alunan ayat Alquran melalui CD murotal. Bahkan, saat memutarkan video melalui laptop, kami sertakan suara murotal bacaan Alquran serta memuat gambar lafaz bacaan Alquran yang sedang diputar. Dengan cara seperti itu, ternyata selain bisa menghapal, Fajar juga mampu melihat tulisan lafaz bacaannya.

Di usia delapan tahun, aku bertemu seorang teman lama di sebuah acara seminar. Dia menyarankan membawa Fajar ke Solo karena kota ini merupakan salah satu pusat fisioterapi untuk para difabel. Lagipula, guru fisioterapis di Bandung juga mayoritas lulusan dari Solo. Aku dan suami pun memutuskan pindah ke Solo agar Fajar mendapatkan fisioterapi yang maksimal. Aku dan Fajar menempati rumah di Tohudan, Colomadu, Karanganyar. Aku pindah saat Fajar berumur delapan tahun, tepatnya tahun 2011.

Imam Masjidil Haram

Atas usulan dari teman, Fajar kudaftarkan menjalani fisioterapi di Bu Nawang, Colomadu. Tiap hari, aku dengan sabar selalu mengantarnya menjalani terapi fisioterapi. Aku harus berjibaku sendirian mengurus anakku. Suamiku di Bandung untuk bekerja. Tetapi semua kulakukan dengan sabar dan ikhas karena kembali lagi, ini adalah takdir yang harus kujalani. Aku berusaha bersyukur, meski Fajar dengan kondisi ini, tetapi aku masih bisa memberikan perawatan yang maksimal untuk anakku.

Kadang aku merasa kasihan dengan anak-anak difabel yang oleh keluarganya dibiarkan begitu saja, tanpa ada usaha agar bisa bangkit. Pada umur sembilan tahun, Fajar kudaftarkan di SDIT Al Ihsan, Colomadu, Karanganyar. Aku suka dengan lingkungan di sini, karena mereka mau menerima Fajar dengan tangan terbuka. Meski bukan sekolah inklusi, tetapi mereka mau menerima Fajar. Bahkan teman-teman Fajar juga mendukung. Mereka sering membantu Fajar.

Aku memang sengaja menyekolahkan anakku, karena kemampuan kognitif Fajar tidak ada masalah. Bahkan saat pelajaran hapalan, seperti sains, bahasa Indonesia bahkan bahasa Jawa, ia bisa menerimanya dengan baik. Mata pelajaran yang agak menyulitkan adalah matematika. Kadang dia marah sendiri kalau harus belajar matematika. Mungkin aku belum mengerti metode belajar matematika yang sesuai dengan kemampuan Fajar.

Kini, anakku sudah berumur 12 tahun, sudah duduk di kelas III SD. Saban hari aku mengantarnya ke sekolah. Siangnya, aku mengantarkannya menjalani fisioterapi. Aktivitas ini aku lakoni tiap Senin-Jumat. Fisioterapi harus rutin untuk mengejar agar saraf motorik Fajar tidak berkembang mundur. Karena kalau absen fisioterapi beberapa hari, maka perkembangan saraf motorik Fajar bisa mundur kembali.

Alhamdullilah, kini tumbuh kembang Fajar terlihat. Ia menjadi anak penurut. Cuma kadang-kadang saat mood-nya enggak bagus, ia ngambek. Bahkan bisa sampe nangis. Oleh sebab itulah, aku berusaha menjaga mood-nya. Caranya dengan memberikan kata-kata motivasi. Misalnya, “Fajar, ayo kita berangkat ke sekolah. Nanti bisa jadi anak pintar dan kalau pintar bisa jadi Imam Masjidil Haram.” Aku sengaja memotivasi seperti itu lantaran Fajar memang bercita-cita menjadi Imam Masjidil Haram.

Undangan Kerajaan Saudi

Cita-cita itu sepertinya mendapatkan jalan. Bermula di hari Lebaran tahun 2015 kemarin, Fajar dipertemukan dengan pimpinan Daarul Alquran, Ustaz Yusuf Mansyur. Rencananya saat itu memang sekadar silaturahmi dengan Ustaz Yusuf Mansyur yang memang concern mensyiarkan hapalan Alquran.

Alhamdullilah, anakku ternyata malah diajak naik bareng ke atas panggung bersama beliau. Sebelum melakukan hapalan bersama, Ustaz Yusuf Mansyur mengetes Fajar. Ustaz membolak-balikkan ayat, dan Fajar selalu bisa langsung mengikutinya. Akhirnya, Fajar diajak Ustaz Yusuf Mansyur tampil bersama melantunkan hapalan Alquran.

Satu bulan kemudian, Fajar diundang panitia Hifzil Alquran di Jakarta. Undangannya mepet dengan jadwal pelaksanaan Hifzil Alquran. Setelah mencari tiket, Fajar pun bisa hadir, meski telat. Di acara itu, ada salah satu juri, seorang Syech yang benar-benar kagum dengan kuatnya hapalan Fajar. Fajar pun kemudian diundang dalam acara konferensi ulama se-Asia. Di acara itu, hadir juga anggota keluarga kerajaan Arab Saudi. Fajar diminta tampil di penutupan acara itu di Jakarta.

Dan ternyata, para duta besar dan keluarga kerajaan Arab Saudi kagum dengan hapalan Alquran Fajar. Ya, Fajar masih 12 tahun tapi sudah hapal 30 juz. Tanpa diduga Fajar mendapatkan kado, yakni undangan naik haji. Syukur alhamdullilah kupanjatkan pada Yang Kuasa. Ini benar-benar hadiah yang indah.

Pada 17 September-6 Oktober 2015 lalu, aku, suami dan Fajar pun berangkat naik haji. Fajar terlihat senang saat di Mekkah. Suhu udara yang tinggi hingga 50 derajat tak membuatnya menyerah. Pada lima hari terakhir di Mekkah, Fajar lebih banyak menghadiri undangan dari para syech. Kesempatan ini pun menjadi peluang Fajar dalam meraih cita-citanya menjadi Imam Masjidil Haram. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan oleh Allah untuknya...

Reza Kuncoro