7 Rahasia Agar Suami Bahagia dan Pulang Kantor Lebih Cepat

By , Selasa, 19 Januari 2016 | 09:48 WIB
Agar suami bahagia, renungkan hal-hal berikut. (Nova)

Bahagia adalah mampu mencintai apa yang kita punya dan merawatnya dengan baik, benar, serta gembira. Begitulah kebahagiaan di rumah, termasuk saat berbicara tentang pasangan.

Menciptakan kondisi rumah yang bahagia dan penuh cinta, tentu membuat hubungan pasutri pun terpelihara. Ungkapan bahwa kebahagiaan berasal dari rumah memang benar adanya. Saat komunikasi di rumah berjalan baik, maka berada di rumah pun menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu.

Psikolog kerap mengatakan bahwa kunci kelanggengan hubungan suami istri adalah komunikasi yang baik. Oh ya, kita semua tahu soal itu. Tapi komunikasi macam apa yang sungguh-sungguh akan membuat kita dan pasangan bahagia? 

BACA: 3 Tanda Suami Sudah Nyaman Hidup Bersama Anda

Coba resapi dan aplikasikan hal berikut, agar Anda serta suami senantiasa bahagia dan selalu ingin cepat pulang ke rumah. Merindukan kebersamaan yang tak ada duanya.

1.    Kendalikan Ego

Ini adalah hal penting yang pertama kali perlu dilakukan. Karena ego akan membuat kita tak mau kalah, gengsi tinggi, segala hal dan pertimbangan untuk kepentingan diri kita.

Anda tentu karib dengan jenis kalimat ini: “Dia memangnya enggak tahu kalau saya sudah mengerjakan semua urusan rumah. Saya capek dan ia terus saja menuntut saya melakukan ini-itu tidak ada habisnya”, “Dia enak, pulang kantor bisa langsung mandi, enggak harus ngurus anak, tak perlu perhatian pada rumah. Semuanya saya lagi, saya lagi.”

Ketika kata “saya” menjadi penyebab semua kekesalan, sehingga membuat pasangan menjadi “manusia paling salah di dunia”, maka pada saat itu kita sudah dikendalikan oleh ego. Hal ini akan membuat kita berjarak dengan bahagia. 

Mari coba melihat dari sisi sebaliknya. Apa yang pasangan rasakan? Mengapa ia melakukan hal itu dan bukan hal ini? Apakah ia memang secara sengaja hendak membuat hidup kita susah dan menderita? Siapa yang sebenarnya melihat persoalan dengan negatif? Dia atau kita?

Ketika kita mencoba jujur melihat hal ini, lalu menendang jauh-jauh ego, maka beberapa persoalan lambat-laun akan melenyap. 

BACA: 7 Hal yang Bikin Suami Bahagia, Ternyata Sederhana Saja!

2.    Jangan Terlalu Banyak Berharap

Kekesalan dan kekecewaan kita pada pasangan lahir karena harapan yang tak tercapai. Soal harapan ini ditandai dengan kata “mestinya dia tahu”, “kok dia begini, bukan begitu?” “heran deh, ngapain, sih, dia begitu?”.

Pilihan kata yang kita ucapkan dalam hati maupun terang-terangan menunjukkan harapan kita yang tak tercapai. Sehingga kita kecewa, lalu kesal, lalu menggerutu, lalu geram, lalu memendam murka, kemudian meledak pada suatu ketika.

Turunkan harapan. Jangan berharap ia akan berpikir atau bertindak seperti yang kita inginkan.

Begitu harapan disusutkan, maka bersamaan dengan itu rasa bahagia meningkat. Mengapa? Karena kita sudah melipir dari kesal-geram-murka. Kita akan menerima pikiran dan tindakan pasangan dengan apa adanya. Bila kita menginginkan ia melakukan sesuatu, tinggal katakan. Lalu, selesai urusan.

Pada tataran ini, kita akan lebih santai. Dan lebih mudah tersenyum.

3.    Bilang, Jangan Simpan

Pikiran buruk, prasangka, cemburu, sedih, kecewa adalah emosi negatif yang tak layak disimpan, apalagi dipelihara. Membuangnya tentu tak mudah. Semua emosi itu, kan, ada sebabnya. Ada pencetusnya. Untuk meniadakan, kita perlu membaginya pada pasangan.

Kadangkala, apa yang kita rasakan itu hanya bangunan yang ada di kepala. Bangunan yang kita yakini benar, padahal belum tentu begitu adanya.

Tak hanya emosi minus, emosi gembira, bahagia, terharu, serta cinta pun perlu dikatakan. Dibagi. Bila emosi negatif makin berkurang ketika dibagi, maka sebaliknya emosi positif justru membesar saat disebarkan.

BACA: Yang Dilakukan Pasangan Bahagia Sebelum Sarapan

Ujung-ujungnya, perasaan jadi lebih tenang, mimpi tak lagi buruk lantaran sudah tidak menyimpan apa-apa, bangun lebih segar, lalu berakhir lebih bahagia. Mengakui perasaan itu serupa pagi-pagi menyeruput kopi atau teh hangat. Rasanya menenangkan dan menenteramkan.

4.    Cerna Sebelum Bicara

Baiklah, kita sudah mulai bisa mengakui perasaan, menyampaikan pikiran dengan lugas. Namun, sebelum bicara ada baiknya kita cerna dahulu persoalannya, redakan emosi, pilih kosa-kata, dan focus pada masalah (tidak menyenggol soal-soal lain yang sebenarnya tidak ada hubungannya).

Katanya, kata-kata yang menyakitkan bisa dimaafkan tapi belum tentu bisa dilupakan. Sehingga, ketika sangat marah, jangan dulu bicara. Kita tak bisa menarik kata-kata yang sudah telanjur menusuk. Bekas lukanya akan menetap. Mungkin sampai akhir hayat.

Karenanya, tarik napas panjang dan senyum bisa jadi mula yang bisa dicoba ketika murka meradang. Percayalah, kita akan menyesali kalimat yang terlontar pada saat lidah dikuasai emosi.