Waspadai 3 Perilaku Anak yang Berpotensi Melakukan Aksi Kriminal

By , Rabu, 3 Februari 2016 | 08:45 WIB
Tanda anak berpotensi melakukan aksi kriminal (Nova)

Aksi kriminal kini tak memandang usia. Kita semakin sering menemukan, anak melakukan aksi kriminal di usia yang terlalu dini.

Masalahnya, anak yang melakukan aksi kriminal seringkali sulit dikenali. Bahkan, oleh orangtuanya. Para orangtua kerap tak menyangka sekaligus tak percaya ketika anaknya terbukti melakukan hal kriminal.

BACA: Waspada, Anak di Bawah Umur Bisa Jadi Pelaku Kekerasan Seksual!

Jika ditinjau dari segi hukum, Undang-Undang Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa anak adalah individu dengan usia dalam kandungan hingga sebelum 18 tahun. Tentu bukan tanpa alasan mengapa anak-anak mendapat perlindungan secara hukum. Pasalnya, mereka dinilai rentan menjadi korban kejahatan.

“Nah yang kemudian menjadi kasus unik adalah ketika anak-anak yang termasuk pada golongan rentan menjadi korban kejahatan, pada saat yang sama justru menjadi pelaku,” ujar Reza Indragiri Amriel, psikolog forensik.

BACA: Cari Tahu Anak Tukang Bully, Jangan-Jangan Anda Penyebabnya

Reza pun mengungkap perilaku yang dianggap menjadi tanda seorang anak berpotensi menjadi pelaku kejahatan.

Yakni “Macdonald Triad”, tiga buah perilaku yang menjadi tanda anak berpotensi melakukan aksi kriminal. Apa saja?

Pertama adalah perilaku yang cenderung suka menyiksa hewan.

Kedua, bila anak sangat gemar bermain-main dengan api.

Ketiga, dalam Macdonald Triad disebutkan tanda anak berpotensi melakukan aksi kriminal adalah ketika dia kesulitan mengelola buang air kecil.

Hal tersebut tentu tak bisa disimpulkan begitu saja, namun sebaiknya waspada bila anak berlebihan dalam bermain api, tak bisa dicegah bila sedang menyiksa binatang, dan sama sekali tidak pernah menahan keinginannya untuk buang air kecil di usia yang tak kecil lagi.

BACA: Langkah Orangtua Agar Anak Cerdas dan Berkarakter

Ketiga perilaku yang disebutkan sebelumnya memiliki satu benang merah, yaitu pembangkangan terhadap keteraturan, norma, serta figur pemegang otoritas. Dalam hal ini, orangtua,” papar aktivis anak di HDI Foundation ini.

Lebih lanjut ia mengatakan, ketika anak sudah masuk TK atau SD, maka sudah selayaknya ia tanggap terhadap pengajaran-pengarajan untuk patuh.

Pasalnya, jika sejak kecil anak sulit berkompromi dengan norma serta aturan, dikhawatirkan ia akan mengalami kesulitan ekstra ketika dewasa, di mana tuntutan untuk patuh menjadi semakin besar.