Billy Dahlan Sebelas Kali Ditolak Bank

By nova.id, Jumat, 6 Mei 2016 | 05:01 WIB
Billy Dahlan (nova.id)

Tabloidnova.com - Pria kelahiran 6 Februari 1985 ini memang masih terbilang muda. Namun, sebagai CEO Dafam Hotel Management (DHM), kini ia sudah memiliki 20 hotel. Belum lagi 40 perusahaan lain yang ia kelola sebagai lini bisnis yang bergerak di bidang HOREKA (Hotel, Restaurant dan Kafe).

Saya adalah anak kedua pasangan Soleh Dahlan dan Ingrei Juwita. Kakak saya, Wijaya Dahlan, sementara adik saya bernama Junaidi Dahlan. Kami tinggal di kota Pekalongan dan hidup dalam keluarga yang penuh cinta kasih. Papi adalah seorang wiraswasta yang cukup dikenal dan aktif di beberapa organisasi bisnis. Menurut kedua orangtua saya, dulu saat kecil saya terhitung anak manja.

Itu sebab, selulus SD, papi dan mami mengirim saya bersekolah ke Australia. Katanya agar saya bisa lebih mandiri dan tidak manja lagi. Saya bersekolah di Sydney sejak SMP hingga SMA. Ternyata apa yang diharapkan orangtua terkabul. Di Australia, saya pun tumbuh menjadi anak yang lebih mandiri dan tidak bergantung ke orangtua lagi.

Contohnya, karena hanya mendapat uang saku 10 dolar setiap minggu. Ibaratnya, untuk beli kentang goreng saja tak cukup, harus ngutang atau minta teman. Saya pun akhirnya bekerja paruh waktu saat liburan. Pekerjaannya macam-macam, mulai bekerja di toko daging, bekerja di pasar ikan, food court, menjual tiket, terakhir saya bekerja sebagai tukang sapu dan bersih-bersih di bioskop.

Saya juga pernah membuat event organizer bersama teman-teman dan menggelar acara untuk warga Indonesia di Sydney. Jujur sih, walaupun orangtua adalah wirausahawan tetapi bakat wirausaha saya belum terlihat. Saya masih lebih banyak main.

Setelah lulus SMA di Sydney, tepatnya tahun 2003, saya memilih mengambil sekolah bahasa di Tiongkok selama satu setengah tahun. Di Tiongkok pun saya bukannya belajar, tapi malah sibuk main. Soalnya teman-teman dari Indonesia banyak, apa-apa murah, jadi malah main terus. Jadi, kira-kira belajarnya cuma enam bulan, selebihnya cuma main-main. Ha ha ha.

Tapi entah kenapa, sebelum pulang ke Indonesia, saya menyadari sesuatu. Kalau main begini terus, mau jadi apa saya? Begitu yang ada di benak saya. Saat itu juga menjadi titik balik hidup saya untuk lebih serius memikirkan hidup. Akhirnya, saya bertekad pulang ke Tanah Air dengan rencana yang lebih matang untuk masa depan. Pilih Belajar Bisnis Sekembali ke Tanah Air, saya berniat sekolah serius dan mempelajari bisnis. Saya pun memilih mengambil jurusan Marketing and Communication di London. Kenapa London? Saya mencari negara dan kota di mana warga Indonesianya hanya sedikit sehingga saya fokus belajar.  

Ternyata benar, di London saya mulai serius belajar tentang bisnis. Jujur, saya belum tahu nantinya akan berbisnis apa dan jadi apa.Saya hanya merasa saya tipe orang yang mudah beradaptasi, memiliki teman banyak dan lewat ilmu komunikasi nantinya dapat membantu bisnis ke depan. Saya menyelesaikan studi tepat waktu dan kembali ke Pekalongan tahun 2006. Ketika saya kembali, papi tengah memasuki masa semi pensiun dan menawarkan saya untuk mengelola usaha sarang burung walet. Suatu ketika saat kami makan malam, beliau mengutarakan bahwa saya akan diberi satu atau dua rumah sarang burung walet. Saya enggak perlu khawatir karena saya akan bisa hidup tenang dari usaha ini.  

Selama enam bulan, saya belajar dari papi bagaimana berbisnis sarang burung walet. Sayangnya, walaupun saya belajar langsung dari ahlinya, tapi saya merasa bosan dan tidak merasa tertantang. Kebetulan tipikal kami berbeda. Orangtua tipe yang enggak ngoyo sedangkan saya tipe orang yang sangat ambisius. Saya merasa punya bekal ilmu bisnis yang sudah saya pelajari sehingga temotivasi memilih jalur bisnis yang berbeda. Saya pun mengutarakan ke papi bahwa saya ingin merintis usaha sendiri. Beruntung orangtua memberikan kepercayaan dan kesempatan. Dengan modal tabungan, saya pun mulai mencoba merintis usaha di umur saya yang ke-21. Saya memilih berbisnis ke kota Semarang. Kota besar terdekat dari Pekalongan. Saya makin termotivasi karena, selain punya pacar di Semarang, saya juga harus membuktikan diri dan punya sesuatu di sana.

Saya mulai sibuk mencari peluang usaha. Ketika ada teman yang menawarkan peluang usaha, saya segera mengiyakan. Sepertinya banyak sekali usaha yang pernah saya coba, mulai dari alat mekanik, saham, bisnis tanaman dan banyak lagi. Sayangnya, rata-rata yang saya lakoni gagal. Bahkan saya pernah hanya mengantongi uang sebesar Rp600.000 karena semua tabungan akhirnya terkuras dan ludes tanpa hasil. Ha ha ha. Tak Menyerah Walaupun semua usaha tidak membuahkan hasil seperti yang saya inginkan tetapi saya belum menyerah. Selama dua tiga tahun tersebut saya belajar betul bagaimana cara berbisnis. Pelajaran itu memang sungguh mahal tetapi saya merasa jadi lebih terasah dan bisa membaca kondisi. Saya juga menyadari bahwa 9 tahun berada di luar negeri, saya belum mengenal betul bagaimana kultur bisnis yang ada. Banyak, sih, pengalaman yang tidak mengenakkan, misalnya bertemu partner bisnis yang terlihat baik sekali, tapi ternyata tiba-tiba habis saja bisnisnya tanpa ada hasil. Ya, itu semua harga yang harus saya bayar atas nama pengalaman. Tetapi saya tidak menyerah dan masih ingin berbisnis mandiri. Saya semakin serius dan lebih selektif memilih bisnis.

Tahun 2009, saat itu saya 24 tahun, saya bertemu Andhy Irawan yang saat itu tengah menjabat sebagai GM Hotel Santika Semarang. Saya ditawari menyewa dan membuka jasa spa di hotel tersebut. Saat mengobrol dengan beliau, saya melontarkan pertanyaan kepada beliau, “Bisnis hotel itu menguntungkan atau tidak?” Yang ada dalam pikiran saya saat itu bisnis hotel hanya dimainkan oleh orang-orang besar dan top sekaliber Jacob Oetama atau Ciputra. Apalagi mendengar bahwa untuk membangun hotel dibutuhkan modal paling tidak sebesar Rp50 miliar. Itu uang dari mana saja saja tidak tahu. Ha ha ha.

Dari obrolan dengan Andhy, saya mendapatkan informasi bagaimana potensi bisnis hotel dan cara mencari modal lewat pinjaman bank. Entah kenapa, saya ingin sekali memulai bisnis ini. Kebetulan, orangtua memiliki tanah di pinggiran kota Semarang yang cukup strategis, jadi pas apabila dibangun hotel.