"Sekarang ini sudah lumayan banyak mas. Ada 80 rumah yang saya ambili sampahnya. Kalau dulu hanya 10 rumah," ungkapnya.
Namun demikian, Fakhrur mengaku tidak akan meninggalkan profesinya sebagai guru honorer. Sebab bagi Fakhrur, menjadi guru merupakan sebuah pengabdian.
"Saya ingin sekali mengamalkan ilmu saya yang saya dapat. Karena tanggung jawabnya tidak hanya di dunia," jelasnya.
Menjadi tukang sampah dan hidup kekurangan membuat Fakhrur dan istrinya Fita Wulandari menjadi kreatif. Sampah yang dihimpunnya dari rumah warga tidak semuanya dibuang.
Melainkan, sampah yang bisa didaur ulang disisihkan. Di antara sampah yang biasanya disisihkan adalah sampah plastik. Selain itu juga sampah rongsokan. Untuk sampah rongsokan dijual kepada pengepul. Sedangkan untuk sampah plastik di daur ulang menjadi tas.
"Istri saya yang membuat tasnya," ucapnya.
Hasilnya cukup banyak. Untuk tas ukuran 10 cm x 5 cm ia jual dengan harga Rp 60.000. Sedangkan untuk ukuran diatasnya dijual dengan harga 150.000. Namun pemasarannya masih terbatas.
Tas hasil kreasinya itu hanya dipasarkan ke tetangga-tetangganya. Membuatnya juga tidak mudah. Butuh waktu 10 hari untuk menyelesaikan satu unit tas.
"Biasanya 10 hari baru selesai. Yang sulit menjahitnya itu," ujar dia.
Andi / Kompas.com