Tabloidnova.com - Gadis kelahiran Yogyakarta, 1 Mei 1985 ini, bernama Safrina Rovasita. Ia adalah mahasiswa S2 pada Jurusan Bimbingan Konseling Islam di Universitas Negeri Yogyakarta. Nina, sapaannya, berbeda dari mahasiswa lainnya, lantaran ia penderita cerebral palsy (CP.)Matanya berkaca-kaca saat Nina menuturkan bagaimana sang ibu memandirikan dirinya.
Meski menderita cerebral palsy (CP), saya tidak mau dikasihani. Bahkan ditolong melakukan sesuatu yang saya bisa lakukan sendiri. Pandanglah saya sebagai orang sebagaimana umumnya. Persepsi buruk masyarakat bahwa penderita CP tidak mampu, akan berpengaruh besar terhadap anak-anak CP.
Lihatlah saya. Sejak kecil orangtua bekerja keras untuk membuat saya mandiri. Bapak, ibu dan kakak-kakak memperlakukan saya dengan sewajarnya dan semestinya. Itu semua membuat saya percaya diri dan mandiri. Karena itu, sebelum banyak bertutur banyak, izinkan saya mengungkapkan rasa terima kasih dan cintaku pada Ibu.
Ibu, aku sangat mencintaimu. Engkaulah bidadari yang ajaib. Engkau sangat luar biasa. Entah bagaimana ceritanya diriku bila Ibu tidak membantu dan menyemangatiku untuk hidup mandiri, untuk belajar berbicara dan membaca. Sungguh Ibu, aku tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih dan cintaku pada Ibu dengan kata-kata sampai kapan pun. Aku mencintai Ibu.
Awal Keajaiban
Saya adalah anak bungsu dari empat bersaudara hasil buah cinta kasih bapak saya, Suprapto, dan ibu Masriyah. Bapak dulu bekerja di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Pernah menjadi Kepala Taman Budaya Yogyakarta. Ibu hingga sekarang masih dinas di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DIY.
Dari empat anak , hanya saya yang menderita CP. Tidak seorang pun pastinya yang menginginkan memiliki kondisi ini. Hingga usia lima tahun, saya amat kesulitan berbicara apalagi berjalan. Karena itu Bapak dan Ibu tidak pernah meninggalkan saya sendirian di rumah kami di Perumnas Minomartani, Depok, Sleman, yang kala itu masih sepi.
Suatu kali, air PAM di rumah kami tidak mengalir. Seperti biasanya, Ibu terpaksa harus mencuci ke sebuah mata air di desa lain yang jaraknya 10 km dari rumah. Di sanalah Ibu membawa tas penuh dengan pakaian kotor. Tak lupa juga membawa saya.
Biasanya, sembari mencuci, saya harus menunggu. Tapi saya tidak pernah bisa diam. Biasanya saya main air di dekat Ibu mencuci. Suatu kali, saat ke mata air itu Ibu membawa serta ban vespa milik Bapak yang sudah terpakai. Ke dalam ban itulah saya dimasukkan agar mengambang di mata air, sementara Ibu sibuk mencuci.
Kejadian itu terus berulang seminggu sekali tiap kali Ibu mencuci. Nah, dari sinilah keajaiban terjadi. Rupanya karena sering berenang kesana-kemari, otot kaki saya menjadi lebih kuat dari biasanya.
Saya pun mampu berjalan di usia 5 tahun. Bukan main gembiranya saya.
Bisa Naik Sepeda