Jussy Rizal (1): Mengembangkan Lurik Dengan Berbagai Inovasi

By nova.id, Sabtu, 13 Agustus 2016 | 05:01 WIB
Jussy Rizal (nova.id)

Pria 30 tahun ini mewarisi bisnis kain lurik milik kakeknya. Ia “terpaksa” turun tangan lantaran anggota keluarga yang lain sudah memiliki pekerjaan dan kesibukan masing-masing. Ternyata tak mudah mempertahankan dan mengembangkan bisnis yang sudah berusia puluhan tahun itu. Dengan tekad kuat dan penuh percaya diri, ia akhirnya mampu mengembangkan sekaligus melestarikan warisan lurik leluhur dengan berbagai inovasi. Mengembangkan lurik bukan hal mudah. Salah satunya pengembangan corak warna agar para generasi muda mau mengenakan lurik.

Kain tenun lurik sudah dikenal ribuan tahun lampau. Berbagai penemuan sejarah seolah menunjukkan bahwa kain tenun lurik telah ada di tanah Jawa sejak zaman pra sejarah. Salah satu relief Candi Borobudur menggambarkan orang sedang menenun.Prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 juga menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain tenun lurik.

Kain lurik sebetulnya memang masih memiliki banyak peminat, meski citranya tak sementereng kain batik. Lurik digunakan dan dikenakan untuk upacara adat dan tradisi.  Karena itu citra kain lurik jauh dibanding citra kain batik yang akrab dengan kehidupan kaum priyayi yang mengenal baca-tulis. Karenanya, kita bisa dengan mudah menemukan literatur tentang batik, sementara literatur tentang kain lurik teramat langka.

Tapi, tidak selamanya lurik dikenakan masyarakat kelas bawah. Para Pangeran di keraton pun seringkali aterlihat mengenakan beskap dari kain lurik pada upacara-upacara adat. Hanya saja warna dan motifnya berbeda.

Disebut lurik karena ia terbuat dari benang katun dan bercorak garis-garis. Lurik berasal dari kata Rik, artinya pagar. Jadi siapa yang mengenakan lurik, diharapkan akan senantiasa terlindungi hidupnya.

Sayang, saat ini tak banyak produsen kain lurik ATBM, utamanya di Yogyakarta. Yang banyak berkembang adalah kain lurik yang dibuat dengan mesin modern alias tekstil.

Pelanggan Tak Berubah

Saya, saat ini mengelola bisnis warisan kakek saya, Dibyo Sumarto. Usaha kami ada di perbatasan Kota Yogya dan Kabupaten Bantul, tak  jauh dari Panggung Krapyak. Itu adalah tempat raja dan para pangeran Keraton Yogyakarta dulu berburu fauna.

Kami memproduksi kain lurik dengan ciri khas motif tradisional seperti yang dikenakan para abdi dalem dan pangeran di keraton. Tetapi kami juga membuat corak baru sesuai keinginan pasar berikut pernak-pernik dari kain lurik.

Kurnia Lurik bisa dicapai lewat Jalan Parangtritis. Dari arah Ring Road Selatan masuk dari depan Kantor Pos Krapyak, kira-kira 100 meter akan ketemu Gang Mawar. Rumah Kurnia Lurik pun akan terlihat. Atau bisa ditempuh dari arah Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak, ke arah selatan. Sesampai Panggung Krapyak belok ke kiri lurus mentok, nanti akan ketemu Rumah Kurnia Lurik.

Menurut cerita para orangtua, Desa Krapyak Wetan ini dulunya merupakan sentra kerajinan kain lurik. Banyak warga yang menenun kain untuk kemudian dijual di pasar. Kakek saya sendiri memulai usaha tenun lurik sejak tahun 1962. Merek produksi luriknya bernama Kurnia. Sebelum mendirikan usaha sendiri, kakek hanya seorang buruh tenun di kampung Danurejan, Yogya.

Rumah sekaligus tempat produksi lurik yang kami tempati sekarang ini milik kakek. Bangunannya masih asli seperti tahun 1962. Hanya ada sedikit perubahan, yakni toko di bagian depan sudah roboh lantaran gempa bumi tahun 2006 lalu. Yang tidak berubah adalah pelanggannya, para pangeran dan abdi dalem Keraton. Tentu saja motifnya berbeda.