Jussy Rizal (1): Mengembangkan Lurik Dengan Berbagai Inovasi

By nova.id, Sabtu, 13 Agustus 2016 | 05:01 WIB
Jussy Rizal (nova.id)

Kendati dihidupi dari hasil dagang lurik, tetapi sejak kecil saya justru tidak begitu hirau dengan bisnis lurik.  Di benak saya, kakek dan ibu saya mengelola produksi lurik ya begitu-begiu saja tiap hari. Saya juga tidak tertarik belajar mengetahui seluk-beluk dagang apalagi proses produksinya.

Saat memasuki bangku kuliah, saya pun memilih jurusan Psikologi dibanding jurusanTekstil. Tidak ada angan-angan bakal berkecimpung di dunia kain lurik. Tapi juga tidak membayangkan akan menjadi seorang psikolog. Ha ha.

Hingga lepas kuliah, saya baru tersadar. Dari tujuh anak kakek, semua sudah memiliki pekerjaan sendiri-sendiri. Hanya ibu dan paman saya yang masih berkecimpung dan menguasai seluk-beluk produksi. Kala saya lulus kuliah tahun 2008, kakek meninggal. Tiada lagi yang memegang kendali produksi kain lurik. Tinggalah saya satu-satunya harapan keluarga.

Jatuh-Bangun Bersama Lurik

Pelan tapi pasti negara kita mengalami pergeseran budaya. Zaman terasa sekali berubah dan menggeser minat masyarakat terhadap kain lurik. Setelah ratusan tahun orang akrab dengan kain lurik sebagai bagian dari kehidupan dan tradisi serta  budaya sehari-hari, pelan tapi pasti bisnis pengrajin lurik di Krapyak Wetan mati. Puluhan pengrajin lurik gulung tikar, hingga akhirnya tinggal tersisa Lurik Kurnia.

Lurik Kurnia mampu bertahan dan  gempuran industri fashion dan kemajuan mesin tekstil karena kakek mampu membaca perubahan zaman. Tahun 1980-an saat pemerintah menggencarkan pemakaian lurik sebagai seragam kantor, beliau membuat inovasi dengan memainkan warna agar lurik tetap disukai orang, terutama kaum muda. Bila biasanya lurik hanya  diproduksi dengan warna-warna cokelat dan warna gelap,  kali itu dibuat warna-warna terang. Hasilnya, usaha kami mulai bangkit lagi.

Orang membeli lurik lagi bukan hanya untuk acara tradisi saja, melainkan juga ada yang dibuat baju dan kemeja. Limbahnya dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan. Bahkan ada yang memesan  bahan untuk interior.

Ketika orang sedang jauh cinta dengan lurik warna terang, usaha kembali  terancam dengan kehadiran lurik yang dihasilkan pabrik tekstil. Para produsen lurik tekstil itu melempar produksi tekstil motif lurik ke pasar dengan harga lebih murah daripada lurik yang kami hasilkan. Usaha pemerintah yang semula ingin mengangkat ekonomi pengrajin lurik, tidak sepenuhnya berhasil.

Namun, kakek saya tidak menyerah. Tahun 1990-an, beliau berinovasi lagi dengan menggaungkan pelestarian tenun mesin ATBM. Begitulah, sekali lagi berhasil bertahan. Bertahan berproduksi untuk sekadar hidup dan menghidupi para pekerjanya.

Mewarisi Bisnis Keluarga

Gempa bumi yang mengguncang wilayah Yogyakarta tahun 2006 memukul telak usaha Lurik Kurnia adalah gempa bumi tahun 2006! Selain menghancurkan fisik toko di depan rumah, ada beberapa alat tenun yang rusak dan terpaksa harus dikanibal. Tak cuma itu, gempa juga menghancurkan usaha Lurik Kurnia. Bisnis pun berhenti total selama 2 tahun!

Saat produksi berhenti kakek mulai sakit-sakitan dan akhirnya meningal di tahun 2008. Pada tahun yang sama, saya lulus dari Fakultas Psikologi UGM.