Curhat Si Kembar Yuliani - Yuliana

By nova.id, Kamis, 8 September 2016 | 06:36 WIB
Yuliana dan Yuliani (nova.id)

Operasi pemisahan kembar dempet siam Pristin Yuliana- Pristin Yuliani tahun 1987 silam menjadi catatan sejarah kesuksesan dunia medis Indonesia. Tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang saat itu melakukan operasi, dipimpin Prof. dr. RM Padmosantjojo, berhasil memisahkan si kembar dengn selamat. Keduanya pun tumbuh sehat dan normal.

Memasuki usia yang ke-29, kabar keduanya kembali menarik perhatian. Ana kini tengah menyelesaikan studi S3 dan mengejar gelar doktor sedangkan Ani praktik sebagai dokter umum. Putri kembar pasangan Hartini dan Tularji ini belakangan menjadi pembicaraan hangat publik. Pasalnya, keduanya diakui telah memberikan teladan yang baik dan bisa diikuti jejaknya oleh anak-anak kembar di pelosok tanah air.

Berikut penuturan Ana, yang akrab dipanggil Mbak, dan Ani, yang biasa dipanggil Adek, saat ditemui NOVA di Jakarta beberapa waktu lalu.

Aku beruntung memiliki saudara kembar seperti Mbak. Semua yang ada pada diri kami adalah karunia Tuhan, Aku dan Mbak sudah tahu lahir sebagai kembar siam sejak kecil. Ayah dan Ibu memiliki dokumentasi lengkap tentang operasi yang dilakukan ketika kami berusia 2 bulan 21 hari. Jadi sudah sejak kecil kami diberitahu mengenai cerita pemisahan kami dan kesuksesan Pakde (sebutan untuk Prof.dr. RM Padmosantjojo) lewat kliping media dan foto.

Aku dan Mbak tidak pernah merasa berbeda dengan kembar pada umumnya. Justru kami merasa istimewa. Berarti, kami adalah masterpiecenya dokter bedah saraf Indonesia. Maka kami pun terpacu untuk bisa menjadi yang terbaik. Aku dan Mbak ingin menunjukkan kepada yang lain bahwa mantan kembar siam juga bisa cerdas dan sukses seperti anak normal lainnya. Justru, perlu digarisbawahi, kalau tidak sukses dan tidak seberhasil kami, anak-anak kembar itu perlu ditanyakan dong.

Kami adalah mantan kembar siam, lapisan otak kami yang namanya durameter otak menyatu. Jika dipisahkan, pasti ada efeknya. Beberapa dokter saat itu sempat mengatakan bisa mengganggu area kognitif, bahkan degradasi mental. Di sinilah, cambuk buat kami untuk bisa membuktikan bahwa kami bisa berhasil dan menjadi contoh yang baik untuk semua anak kembar di Indonesia.

Hubungan kami dengan Pakde juga sangat baik. Beliau adalah orangtua angkat kami dan yang menyekolahkan kami hingga menjadi dokter dan doktor. Beliau inspirasi bagi kami berdua. Selain karena memang kami adalah mantan kembar siam yang beliau bantu, kami juga ingin bisa menolong seperti yang beliau lakukan kepada kami. Kami ingin membuktikan kepada beliau bahwa kami bisa menjadi seperti beliau, bermanfaat untuk orang lain. Pekerjaan beliau sangatlah mulia. Makanya kami berdua pun sejak kecil sudah bercita-cita ingin menjadi dokter dan bisa membantu anak-anak lainnya.

Aku dan Mbak bersama orangtua tinggal di Tanjung Pinang, Riau, sedangkan Pakde di Jakarta, tetapi komunikasi kami terus berjalan. Kami selalu mengirim hasil rapor sekolah. Dan Pakde biasanya mengirim hadiah berupa tas, sepatu dan alat keperluan sekolah. Saat liburan barulah kami main ke Jakarta dan bertemu beliau. Ketika Lebaran, Natal atau Ulang Tahun kadang kami ke Jakarta. Tapi tidak selalu, hanya saat beliau tidak memiliki kesibukan. Hingga hari ini pun komunikasi kami tetap terjalin. Mbak saja baru satu minggu yang lalu pulang dari rumah beliau.

Serupa Tapi Tak Sama

Sejak kecil,aku dan Mbak memang punya minat dan kesukaan yang berbeda. Kalau aku suka melukis dan menggambar sedangkan Mbak enggak suka. Mbak itu sukanya olahraga, apalagi lari. Aku sih biasanya cuma menemani kecuali kalau olahraganya basket, baru aku ikutan.

Sejak SD hingga SMA, aku dan Mbak memang selalu satu sekolah. Biarpun kami mirip, tetapi sebenarnya kami cukup berbeda, kok. Nih ya, kalau aku sukanya jalan-jalan, gaul, karaoke sedangkan Mbak itu tipe anak rumahan. Aku juga tipikal anak yang rame dan banyak omong sedangkan Mbak diem dan punya sosok dewasa dan keibuan. Ya, karena mirip, pasti ada saja yang selalu salah memanggil atau mengira kami satu sama lain.

(Diamini oleh Ana dengan anggukan, ia pun mulai bercerita beberapa pengalaman serupa)

Jadi waktu itu, ada temannya Ani tiba-tiba datang ke saya, cerita panjang lebar, curhat gitu. Waktu itu saya sebenarnya mau bilang kalau saya Ana, bukan Ani, tapi enggak dikasih kesempatan. Dia nyerocos aja. Dia baru berhenti cerita pas Ani muncul. Agak kaget pas lihat Ani. Ha ha. Untungnya teman-teman saya tahu karakter saya yang bisa ramah dan senyum sama siapa saja. Jadi pas ketemu Ani dan nyapa Ani tapi dicuekin, mereka paham kalau itu bukan saya tapi kembaran saya. Saya juga orangnya serius dan enggak banyak ngomong.

Baca juga: Si Kembar Itu Kini Meraih Prestasi

Soal selera makan juga beda sih. Saya suka asin sedangkan Ani suka manis dan pedas. Kalau pergi ke tempat makan kami biasanya berbagi. Misalnya makan mie ayam bakso, nanti baksonya untuk saya, karena saya engga suka mie ayam, sedangkan Ani sangat menyukai mie ayam.

Minum juga berbeda. Kalau Ani cuma minum air putih setelah makan, aku biasanya selalu punya minuman pendamping seperti jus atau minuman manis. Ani lebih bergaya feminin sementara aku suka berpenampilan kasual.

Beda Cara Belajar

(Ani melanjutkan)

Aku dan Mbak juga bersaing soal akademis, tapi secara sportif. Aku lebih suka mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi. Mbak hobi membaca sedangkan aku kalau baca harus pelan-pelan. Mbak bisa membaca hanya dalam beberapa jam. Kalau belajar aku biasanya suka pake musik, sedangkan Mbak harus tenang dan damai. Kalau soal rangking, kami beda tipis sih. Aku ranking 3, Mbak rangking 5. Kalau aku ranking 5, Mbak ranking 7.

Semenjak kuliah, karena beda studi dan fakultas, jadi ya berbeda belajarnya. Aku masuk di Fakultas Kedokteran Andalas Padang, Sedangkan Mbak di Institute Pertanian Bogor. Tetapi kami saling bercerita dan berdiskusi mengenai ilmu kami masing-masing. Saat aku tengah koas, Mbak sudah ambil S2. Dan saat aku dinas di Puskesmas Seberang Padang, Mbak melanjutkan program doktoral ilmu nutrisi dan teknologinya di IPB.

Tentunya kami berdua saling membantu, mendukung dan berbagi info. Misalnya ada hasil penelitian mengenai protein yang Mbak share denganku, maka aku pun menceritakan hasilnya pada dunia medis dan kedokteran, kemudian kami berdiskusi. Tapi ada cerita sih kenapa Mbak akhirnya menjadi peneliti.

“Sebenarnya, dulu cita-cita saya juga ingin jadi dokter sama seperti Ani. Tapi saat tes masuk perguruan tinggi saya justru masuk di pilihan kedua, kimia dan biokimia yang tdak saya sukai. Sampai hari ini pun riset saya masih berurusan dengan ini. Ternyata apa yang tidak saya sukai justru didekatkan oleh Tuhan. Ini sudah salah jurusan sampai S3, kesalahannya fatal kan ya. Ha ha,” jelas Ana.

“Saya pikir ya sudah, menjalani sesuatu harus niat dari hati kan. Makin hari, usia bertambah, pola pikir juga berubah. Semakin tinggi ilmu yang didapatkan, pemikiran biasanya lebih terbuka. Enggak mungkin saya enggak suka terus kan.Ttidak kenal maka tidak sayang. Lama-lama saya suka. Biokimia itu biasanya dihindari semua orang, tapi ternyata biokimia bisa memberikan banyak dampak positif untuk masyarakat. Nah, dari situ saya mulai berpikir bahwa membantu orang itu tidak hanya dengan menjadi dokter seperti Ani tapi juga bisa dengan berbagai cara,” jawab Ana.