Mengharukan, Kisah Seorang Ibu Merawat Anaknya yang Lumpuh

By nova.id, Selasa, 1 November 2016 | 09:01 WIB
Tatik Sukilah saat mengendong putranya Erry Susilo turun dari ojek menuju rumah kontrakannya (nova.id)

Baca juga:  Begini Kisah Hidup Ningsih, TKW yang Dibunuh Bankir di Hongkong

Tidak sedikit uang yang ia keluarkan demi sang buah hati. Rumahnya di Purworejo terpaksa dijual meski sedang dalam proses pembangunan dari hasil menabung saat bekerja di Jakarta.

"Sampai habis-habisan, rumah dijual pokoknya demi anak sembuh saya lakukan," ucapnya.

Malang bagi Erry, ia tidak kunjung sembuh. Hingga akhirnya salah satu dokter spesialis saraf di Yogyakarta mengatakan bahwa Erry menderita duchenne muscular dystrophy (DMD) atau degenerasi otot. Penyakit ini tidak ada obatnya.

Vonis itu bagai petir di siang bolong bagi Tatik. Semangatnya mencari kesembuhan bagi sang anak seketika runtuh.

"Katanya tidak ada obatnya, hanya kasih sayang orangtua lah yang akan menguatkannya," tuturnya.

Sejak itulah, Tatik mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya untuk mendampingi remaja tersebut. Kebetulan, anak pertama dan keduanya sudah bekerja, menikah dan tinggal di Jakarta. Anak ketiga Tatik sedang mencari pekerjaan di Yogyakarta.

Setiap hari, Tatik selalu berada di samping Erry. Ia kerap bangun di malam hari ketika Erry mengeluh pegal dan ingin berganti posisi tidur.

Saat ini Erry tidak bisa mengerakkan kepalanya sendiri. Padahal, tiga tahun lalu Erry masih bisa menggelengkan kepala dan mengangkat tangannya.

"Kalau ingin buang air besar, malam hari pun saya gendong ke kamar mandi, jalan kaki agak jauh, dekat Sungai Code. Di kontrakan kan tidak ada kamar mandinya," kata Tatik.

Saat duduk di Sekolah Dasar Lempuyangan Kota Yogyakarta, Erry berangkat dan pulang sekolah dengan digendong ibunya.

Ketika Erry sudah beranjak SMP dan SMA dan lokasi sekolahnya jauh, Tatik pun harus menyewa ojek untuk mengantar dan menjemputnya. Saban hari, Tatik harus membayar sebesar Rp 25.000 untuk ojek ke dan dari sekolah. Sebulan ia membayar Rp 650.000.

Jumlah itu diakuinya sangat berat sebab penghasilannya dari membuat serta menjual roti tidak menentu. Sementara ia masih harus membayar uang kontrakan sebesar Rp 500.000 per bulan. Belum lagi biaya untuk hidup sehari-hari.

"Ya, harus utang kanan-kiri kalau pas tidak ada uang. Soalnya pesanan roti atau snack tidak pasti ada. Tetapi ya ada saja rezeki itu datang, saya yakin Allah pasti memberi jalan," kata Tatik.

Sering kali tatkala tidak mempunyai uang untuk membayar ojek, Tatik menggendong putranya jalan kaki ke SMA Negeri 11. Kurang lebih satu jam ia berjalan melewati trotoar.

 Wijaya Kusuma / Kompas.com