Mengharukan, Kisah Seorang Ibu Merawat Anaknya yang Lumpuh

By nova.id, Selasa, 1 November 2016 | 09:01 WIB
Tatik Sukilah saat mengendong putranya Erry Susilo turun dari ojek menuju rumah kontrakannya (nova.id)

 "Kaki ibu ini sebagai ganti kakimu". Kata-kata penuh kasih sayang ini terlontar lembut dari Tatik Sukilah (47) sembari menggendong putranya, Erry Susilo (16).

Erry menderita kelumpuhan dari leher hingga kaki. Ke mana pun ia pergi, ia selalu digendong oleh Tatik. Siang itu, ojek yang ditumpangi Erry dan Tatik berhenti di depan sebuah lorong. Dengan sigap, Tatik memberikan punggungnya sebagai sandaran bagi Erry.

Erry memeluk ibunya yang berjalan selangkah demi selangkah melewati sebuah jalan kecil di sela-sela bangunan yang padat.

Langkahnya berhenti di sebuah bangunan sederhana di Ledok Tulangan DN2/143 RT 08/RW 02, Kecamatan Danurejan, Kelurahan Tegal Panggung, Kota Yogyakarta.

Rumah kontrakan berukuran 5 meter x 4 meter inilah yang mereka tempati sejak 2003.

Setelah membuka pintu, Tatik mendudukkan putranya di sebuah kursi. Jari tangannya lalu mengendorkan dasi yang dikenakan Erry. Ia melepaskan kancing seragam sekolah Erry agar lebih longgar.

Sambil duduk di lantai, Tatik melepas sepatu dan kaus kaki yang dikenakan putra keempatnya itu. Sembari mengusap keringatnya, Tatik menceritakan awal mula Erry menderita kelumpuhan.

Sesekali ucapannya terhenti karena tak kuasa menahan air matanya. Sesegera mungkin ia hapus air mata itu agar jangan sampai terlihat oleh Erry.

Tatik menuturkan, saat masih kecil, kondisi fisik Erry Susilo seperti anak-anak lainnya. Di masa itu, Erry adalah anak yang sangat aktif.

"Kelas III SD, Erry tiba-tiba saat jalan sering jatuh karena kakinya lemas dan hanya merangkak," ujar Tatik, Senin (31/10/2016).

Melihat putranya mengeluh lemas, Tatik melakukan berbagai usaha untuk menyembuhkan Erry. Ia mencari dokter maupun pengobatan alternatif. Tak hanya di Yogyakarta, Tatik bahkan datang ke Klaten, Jawa Tengah, demi kesembuhan Erry.

"Sampai Erry pindah sekolah di Wonosari untuk proses penyembuhannya, saya di Wonosari sampai satu bulan," kata dia.

Baca juga:  Begini Kisah Hidup Ningsih, TKW yang Dibunuh Bankir di Hongkong

Tidak sedikit uang yang ia keluarkan demi sang buah hati. Rumahnya di Purworejo terpaksa dijual meski sedang dalam proses pembangunan dari hasil menabung saat bekerja di Jakarta.

"Sampai habis-habisan, rumah dijual pokoknya demi anak sembuh saya lakukan," ucapnya.

Malang bagi Erry, ia tidak kunjung sembuh. Hingga akhirnya salah satu dokter spesialis saraf di Yogyakarta mengatakan bahwa Erry menderita duchenne muscular dystrophy (DMD) atau degenerasi otot. Penyakit ini tidak ada obatnya.

Vonis itu bagai petir di siang bolong bagi Tatik. Semangatnya mencari kesembuhan bagi sang anak seketika runtuh.

"Katanya tidak ada obatnya, hanya kasih sayang orangtua lah yang akan menguatkannya," tuturnya.

Sejak itulah, Tatik mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya untuk mendampingi remaja tersebut. Kebetulan, anak pertama dan keduanya sudah bekerja, menikah dan tinggal di Jakarta. Anak ketiga Tatik sedang mencari pekerjaan di Yogyakarta.

Setiap hari, Tatik selalu berada di samping Erry. Ia kerap bangun di malam hari ketika Erry mengeluh pegal dan ingin berganti posisi tidur.

Saat ini Erry tidak bisa mengerakkan kepalanya sendiri. Padahal, tiga tahun lalu Erry masih bisa menggelengkan kepala dan mengangkat tangannya.

"Kalau ingin buang air besar, malam hari pun saya gendong ke kamar mandi, jalan kaki agak jauh, dekat Sungai Code. Di kontrakan kan tidak ada kamar mandinya," kata Tatik.

Saat duduk di Sekolah Dasar Lempuyangan Kota Yogyakarta, Erry berangkat dan pulang sekolah dengan digendong ibunya.

Ketika Erry sudah beranjak SMP dan SMA dan lokasi sekolahnya jauh, Tatik pun harus menyewa ojek untuk mengantar dan menjemputnya. Saban hari, Tatik harus membayar sebesar Rp 25.000 untuk ojek ke dan dari sekolah. Sebulan ia membayar Rp 650.000.

Jumlah itu diakuinya sangat berat sebab penghasilannya dari membuat serta menjual roti tidak menentu. Sementara ia masih harus membayar uang kontrakan sebesar Rp 500.000 per bulan. Belum lagi biaya untuk hidup sehari-hari.

"Ya, harus utang kanan-kiri kalau pas tidak ada uang. Soalnya pesanan roti atau snack tidak pasti ada. Tetapi ya ada saja rezeki itu datang, saya yakin Allah pasti memberi jalan," kata Tatik.

Sering kali tatkala tidak mempunyai uang untuk membayar ojek, Tatik menggendong putranya jalan kaki ke SMA Negeri 11. Kurang lebih satu jam ia berjalan melewati trotoar.

 Wijaya Kusuma / Kompas.com