Kerusakan Terus Bertambah
Setelah terapiku usai, aku mulai menjalani medical control per tiga bulan. Mungkin inilah ujianku, tujuh kali operasi (tiga kali di bagian kepala dan wajah, empat kali di perut, serta pinggang melintang sampai ke bawah). Jadi, ada jahitan vertikal, horizontal, diagonal, dan sentrifugal. Total hingga sekarang aku menjalani 22 kali kemoterapi, 38 kali radioterapi, dan 178 kali fisioterapi.
Sejak 2005, tubuhku juga mulai mengalami kerusakan. Gigi mulai hancur dan kini sudah habis sama sekali. Di kalangan jamaahku, aku dikenal sebagai ustazah matic, karena tidak ada giginya. Ha ha ha. Mata juga mulai tidak bagus. Kini, mataku mengalami gangguan minus, plus, silinder, dan premium sekaligus. Telingaku pun rusak. Tak hanya itu, kini aku juga jadi sulit menelan. Ini karena dulu leherku pernah dilubangi saat operasi tumor ganas nasofaring. Kadang-kadang, indera pengecapku mendadak mati rasa. Asin, manis, asam, dan lainnya, kadang tak terasa sama sekali, kadang selama beberapa saat, bahkan kadang beberapa hari.
Aku tidak bisa makan dalam jumlah banyak dan tidak bisa makan makanan panas, dingin, atau asam, karena perih di gusiku. But it’s ok buatku. Aku makan bukan karena nafsu, melainkan agar tubuhku kuat, karena aku butuh energi untuk beraktivitas. Kerusakan lain yang sebelumnya tak pernah terjadi padaku adalah jantungku lemah dan paru-paruku bocor. Akibatnya, sekarang aku tak bisa lagi berenang.
Tegar di Depan Jamaah
Dulu aku bisa membaca tiga ayat Alquran sekaligus dalam satu helaan napas, kini membaca satu ayat saja aku butuh tiga kali berhenti mengambil napas. Terkadang, tubuhku mendadak lemas seperti tak bertulang. Pernah, begitu turun dari angkutan kota, aku ambruk dan ditolong tukang ojek. Kalau hendak berangkat dakwah, aku mirip nenek-nenek, karena sibuk mengoles macam-macam minyak ke tubuh.
Syukurlah, jamaahku sangat perhatian. Kalau aku terlihat kecapekan, langsung dipijit. Ada juga yang rajin menemaniku berdakwah ke mana-mana. Alhamdulillah, aku dikelilingi oleh orang-orang yang baik, membuat hidupku tambah semangat.
Aku juga menderita osteoporosis di lutut kiri. Kalau aku naik tangga, tulangku akan berbunyi klik, klik, klik. Rasanya jangan ditanya. Amat linu. Namun, aku tidak mau mengeluh di depan jamaah. Bukannya aku jaga image, tapi bagaimana seseorang bisa menyandarkan semua problemnya pada ustazah kalau ustazahnya cengeng? Aku merasa lemah dan menangis ketika salat Tahajud. Aku berdoa, kalau umurku masih bermanfaat bagi orang lain, kuminta Allah memanjangkannya.
Ketika suatu kali aku berkesempatan pergi umrah, sambil memegang Kabah aku berdoa, “Seandainya diizinkan, jangan cabut nyawaku sebelum aku berhaji.” Bagiku, kekuatan spiritual akan memunculkan kekuatan fisik. Aku tidak setuju ungkapan men sana in corpore sano, di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Dalam Islam, hatilah sang panglima. Kalau hati kuat, keras, dan ikhlas untuk berjuang, tubuh akan mengikuti.
Yang mengherankan, sejak 2005 makin banyak panggilan untuk berdakwah dari luar kota. Sejak itu pula, mulai banyak perusahaan, majelis taklim, kampus, sekolah, instansi pemerintah, sampai BUMN yang mengundangku berdakwah. Buatku, inilah berkah, karena istiqomah dalam berdakwah.
Aku jadi merasa Allah sangat sayang padaku. Ketika tahun 2005 aku dinyatakan sehat, tidak perlu terapi lagi, dan cukup kontrol tiga bulan sekali, aku minta izin suami untuk kuliah kembali dan diizinkan. Bismillah, aku pun kuliah lagi mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam di sebuah kampus di Jakarta. Tepat empat tahun, aku wisuda dengan nilai amat baik. Aku sempat berniat mengajar di bangku sekolah dan itu kulakukan selama beberapa bulan, tapi ternyata aku merasa lebih nyaman ketika berdakwah. Nilai emosinya lebih terbangun dan dinamikanya lebih berwarna dibanding mengajar di kelas.