Kisah Tri Handayani 22 Tahun Melawan Kanker

By nova.id, Minggu, 6 November 2016 | 05:01 WIB
Tri Handayani (nova.id)

Meski sempat jenuh dan bahkan pengin mati, Ia juga tak pernah mengeluh organ tubuhnya satu demi satu rusak akibat efek pengobatan. Total ia menjalani 22 kali kemoterapi, 38 kali radioterapi, dan 178 kali fisioterapi.

Setelah dua hari salat Istikharah, jawabanku mantap, aku memilih opsi kedua, yaitu menunggu sampai kandunganku menginjak usia sembilan bulan. Sambil menunggu, aku tetap berdakwah, bekerja seperti biasa, dan mengajar. Aku juga harus mengonsumsi obat lewat dubur supaya bisa buang air besar. Aku juga banyak makan buah dan minum jus pepaya, serta makanan berserat. Ini cukup membantu, walaupun jujur, rasa sakitnya luar biasa. Setiap buang air besar selalu disertai darah. Namun, aku menutupinya dengan sibuk berdakwah. Sebab, aku merasa sudah diselamatkan dari kanker. Jadi, mengapa tidak mengabdi pada Allah dengan berdakwah di jalan-Nya?

Tak terasa, kalau tak salah saat usia kandunganku 9 bulan 13 hari, perutku mulas. Tak lama, aku melahirkan anak keduaku secara normal. Dia sehat, dengan berat 3,4 kg dan panjang 51 cm. Yang membuatku lebih bersyukur, dia tidak menempel pada tumornya.

Setelah masa nifas, aku kembali ke RS Dharmais untuk operasi ketujuh. Kali ini, untuk mengangkat tumor di perutku. Setelah diperiksa, ternyata aku dinyatakan menderita kanker abdomen atau kanker perut dan sedikit kanker kolon atau kanker usus. Sehingga, akhirnya yang diangkat bukan hanya tumornya, tapi juga beberapa potong usus. Inilah yang membuatku sulit buang air besar.

Bayiku lahir “hanya” 3,4 kg, tapi tumor dan segala isinya beratnya mencapai 7,6 kg. Sejak 2003 hingga sekarang tidak ada lagi operasi. Saat itu, aku minta pada Allah agar tidak ada lagi operasi yang harus kujalani. Hanya saja, aku masih menjalani fisioterapi sampai 2005, dilanjutkan imunoterapi untuk meningkatkan kekebalan tubuh melawan sel-sel kanker.

Ingin Dimandikan

Ketika mama meninggal, aku berhenti bekerja. Dalam buku Mengejar Pelangi tentang perjuanganku melawan kanker, kukatakan mama adalah sosok yang sangat kukagumi setelah bapak. Mama mengajariku kemandirian, ketegaran, kekuatan baik fisik, intelektual, akal, dan hati. Betapa mama sangat tabah saat Allah memberi ujian berupa kanker pada anak perempuan satu-satunya.

Ketika orang lain mengatakan kondisiku sudah kritis, hanya mama yang mengatakan bahwa aku pasti bisa, kuat, dan aku adalah anak mama yang hebat. Ketika dokter mengatakan aku sudah tak punya harapan hidup, mama berkata, “Kamu tidak boleh pergi. Bukan mama yang memandikan jenazah kamu, tapi kamu yang memandikan jenazah mama. Tolong, Tri. Kamu kuat. Ayo, berjuanglah. Mama ingin dimandikan jenazahnya sama kamu.”

Kalimat mama ini selalu kuingat. Setiap kali sakit luar biasa mendera saat kemoterapi, sakit, disuntik beberapa jam, atau disinar dan sebagainya, saya enggak mau cengeng. Demi mama aku harus berjuang. Pernah, tubuh dan kepalaku terasa teramat sakit, tapi aku tidak mau mengeluh pada mama. Dokter mengatakan ke mama bahwa aku sudah mulai lemah dan menawari menunda terapiku. Mama bertanya apakah aku masih kuat. Aku mengangguk.

Aku menolak terapiku dihentikan, karena aku tahu mama sudah menjual rumah, tanah, kendaraan, perhiasan miliknya, bahkan koleksi guci dan piring kesayangannya demi kesembuhanku. Pengorbanannya sangat luar biasa. Sangat tidak adil baginya kalau aku menyerah pada penyakitku.

Alhamdulillah, doa mama terkabul. Akulah yang memandikan jenazah mama pada Oktober 2005.

Beliau meninggal karena diabetes dan serangan jantung. Amanah beliau adalah agar jangan pernah aku menutup pengajian di rumahnya yang kini kutempati dan jangan pernah berhenti berdakwah di rumah. Maka, sebagai bentuk kecintaanku pada mama, di sela-sela berdakwah ke luar, aku tetap berdakwah di rumah.

Kerusakan Terus Bertambah

Setelah terapiku usai, aku mulai menjalani medical control per tiga bulan. Mungkin inilah ujianku, tujuh kali operasi (tiga kali di bagian kepala dan wajah, empat kali di perut, serta pinggang melintang sampai ke bawah). Jadi, ada jahitan vertikal, horizontal, diagonal, dan sentrifugal. Total hingga sekarang aku menjalani 22 kali kemoterapi, 38 kali radioterapi, dan 178 kali fisioterapi.

Sejak 2005, tubuhku juga mulai mengalami kerusakan. Gigi mulai hancur dan kini sudah habis sama sekali. Di kalangan jamaahku, aku dikenal sebagai ustazah matic, karena tidak ada giginya. Ha ha ha. Mata juga mulai tidak bagus. Kini, mataku mengalami gangguan minus, plus, silinder, dan premium sekaligus. Telingaku pun rusak. Tak hanya itu, kini aku juga jadi sulit menelan. Ini karena dulu leherku pernah dilubangi saat operasi tumor ganas nasofaring. Kadang-kadang, indera pengecapku mendadak mati rasa. Asin, manis, asam, dan lainnya, kadang tak terasa sama sekali, kadang selama beberapa saat, bahkan kadang beberapa hari.

Aku tidak bisa makan dalam jumlah banyak dan tidak bisa makan makanan panas, dingin, atau asam, karena perih di gusiku. But it’s ok buatku. Aku makan bukan karena nafsu, melainkan agar tubuhku kuat, karena aku butuh energi untuk beraktivitas. Kerusakan lain yang sebelumnya tak pernah terjadi padaku adalah jantungku lemah dan paru-paruku bocor. Akibatnya, sekarang aku tak bisa lagi berenang.

Tegar di Depan Jamaah

Dulu aku bisa membaca tiga ayat Alquran sekaligus dalam satu helaan napas, kini membaca satu ayat saja aku butuh tiga kali berhenti mengambil napas. Terkadang, tubuhku mendadak lemas seperti tak bertulang. Pernah, begitu turun dari angkutan kota, aku ambruk dan ditolong tukang ojek. Kalau hendak berangkat dakwah, aku mirip nenek-nenek, karena sibuk mengoles macam-macam minyak ke tubuh.

Syukurlah, jamaahku sangat perhatian. Kalau aku terlihat kecapekan, langsung dipijit. Ada juga yang rajin menemaniku berdakwah ke mana-mana. Alhamdulillah, aku dikelilingi oleh orang-orang yang baik, membuat hidupku tambah semangat.  

Aku juga menderita osteoporosis di lutut kiri. Kalau aku naik tangga, tulangku akan berbunyi klik, klik, klik. Rasanya jangan ditanya. Amat linu. Namun, aku tidak mau mengeluh di depan jamaah. Bukannya aku jaga image, tapi bagaimana seseorang bisa menyandarkan semua problemnya pada ustazah kalau ustazahnya cengeng? Aku merasa lemah dan menangis ketika salat Tahajud. Aku berdoa, kalau umurku masih bermanfaat bagi orang lain, kuminta Allah memanjangkannya.

Ketika suatu kali aku berkesempatan pergi umrah, sambil memegang Kabah aku berdoa, “Seandainya diizinkan, jangan cabut nyawaku sebelum aku berhaji.” Bagiku, kekuatan spiritual akan memunculkan kekuatan fisik. Aku tidak setuju ungkapan men sana in corpore sano, di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Dalam Islam, hatilah sang panglima. Kalau hati kuat, keras, dan ikhlas untuk berjuang, tubuh akan mengikuti.

Yang mengherankan, sejak 2005 makin banyak panggilan untuk berdakwah dari luar kota. Sejak itu pula, mulai banyak perusahaan, majelis taklim, kampus, sekolah, instansi pemerintah, sampai BUMN yang mengundangku berdakwah. Buatku, inilah berkah, karena istiqomah dalam berdakwah.

Aku jadi merasa Allah sangat sayang padaku. Ketika tahun 2005 aku dinyatakan sehat, tidak perlu terapi lagi, dan cukup kontrol tiga bulan sekali, aku minta izin suami untuk kuliah kembali dan diizinkan. Bismillah, aku pun kuliah lagi mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam di sebuah kampus di Jakarta. Tepat empat tahun, aku wisuda dengan nilai amat baik. Aku sempat berniat mengajar di bangku sekolah dan itu kulakukan selama beberapa bulan, tapi ternyata aku merasa lebih nyaman ketika berdakwah. Nilai emosinya lebih terbangun dan dinamikanya lebih berwarna dibanding mengajar di kelas.