Gempa hebat di Selandia Baru yang disusul tsunami pada Senin (14/11) dini hari menewaskan setidaknya dua orang. Agi Cakradirana, seorang perempuan Indonesia di Christchurch, Selandia Baru, berkisah tentang kecemasan dan pengalamannya. Begini ceritanya.
Sejak Senin pagi, setidaknya ada empat kali gempa susulan yang cukup besar. Saya sudah mulai merasakan gempa, Minggu jam 12.02 waktu setempat. Terasanya lama sekali. Ternyata memang susul menyusul.
Saya pribadi tidak panik karena sudah pengalaman merasakan gempa di Aceh dan Maluku Utara. Dan suami saya juga warga Selandia Baru. Jadi, saya lebih tenang. Cuma saya sempat berpikir: Kok lama sekali rasanya gempa tersebut.
Kemudian yang muncul di benak saya adalah: Waduh, barangkali ini gempa karena dampak Alpine Fault -retakan di lempengan Alpine (hampir sepanjang pulau selatan Selandia Baru), karena dua hari lalu baru ke kota kecil Hanmer di selatan.
Ketika melalui kota kecil Culverden, kami sempat mengobrol, "kalau terjadi Alpine Fault, kawasan ini akan hancur lebur." Namun demikian, setelah gempa pertama selesai, kami langsung mengecek rumah. Semua baik. Tak ada barang pecah.
Tapi kami langsung mengenakan baju lengkap. Ini sudah menjadi kebiasaan. Kalau gempa makin parah, kami tinggal meninggalkan rumah dengan mengendarai mobil.
Baca juga: Mengerikan, Ratusan Orang Tewas Akibat Gempa dan Tsunami di Selandia Baru
Ketika jarum jam menunjuk pukul 02.22 waktu setempat, ibu mertua saya telepon dan panik. Dia meminta kami melakukan evakuasi ke daerah di atas bukit.
Saya kemudian memantau situasi melalui Twitter. Saya memperhatikan akun twitter milik pemerintahan kota Christchurch, tetapi mereka lama sekali mengupdate informasi terkini. Justru yang terus-menerus memberikan informasi terbaru adalah twitter NZ Civil Defense. Saya memantau terus info tentang gempa susulan serta kesediaan air bersih. Saya takut saluran air terganggu akibat gempa. Dan informasi yang saya dapatkan: kota Christchurch aman, tetapi beberapa daerah tidak aman.
Karenanya, kami memutuskan untuk tetap tinggal di dalam rumah usai gempa. Saya senditi tidak tahu apakah ada aparat kepolisian polisi yang mengatur orang-orang ketika dievakuasi ke arah bukit. Yang pasti, malam ini kami akan tidur di atas kasur yang kami letakkan di bawah.
Pagi tadi, saya juga langsung mengecek perbekalan darurat kami: baju, makanan, air minum, tenda, matras, dan lain-lain. Semua lengkap. Sejak bangun pukul 02.30 waktu setempat saya menonton televisi ada running text tentang gempa tersebut. Wilayah mana yang diperkirakan akan terkena dampak tsunami.
Dikatakan, penduduk yang tinggal sekitar satu kilometer sepanjang pesisir harus dievakuasi ke wilayah yang lebih tinggi, dan menghindari daerah pantai dan aliran air. Jangan jalan-jalan atau melihat-lihat, dan lain-lain. Standar, begitulah.