NOVA.id - Kota Blitar, Jawa Timur tak hanya dikenal sebagai tempat peristirahatan terakhir Presiden Soekarno saja.
Di kota yang terletak sekitar 150 km sebelah selatan Surabaya ini punya satu lokasi lain yang menarik dikunjungi, terutama buat pecinta kopi.
Namanya Kebun Kopi Karanganjar, tepatnya di Desa Karanganjar, Kecamatan Nglegok, berjarak 27 km utara Blitar.
Tempat ini menawarkan suasana alam berbeda.
(Baca juga: Pantas Saja Donat Tidak Bulat Sempurna, Inilah Kesalahan yang Sering Kita Lakukan)
Kita bisa menikmati keindahan alam dengan mengelilingi ratusan hektare kebun kopi, melihat bangunan asli peninggalan Belanda, museum, belajar tentang seluk beluk kopi, sampai menikmati makanan dan minuman di kafe dengan pelayan seorang bule.
Memasuki pintu gerbang agrowisata kebun kopi ini, kita akan merasakan suasana yang berbeda.
Nuansa tempat peninggalan Belanda sangat kuat.
(Baca juga: Sarapan Bernutrisi dengan Sereal Susu, Solusi Tepat Ibu Millennial)
Bangunan tua klasik, dengan pelataran yang luas makin menegaskan kawasan itu sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Hembusan angin dengan aroma bunga kopi yang wangi, ditimpali suara binatang dari balik rerimbunan, membuat suasana sangat damai.
“Masuk kemari memang bikin suasana hati jadi tenang, jauh dari kebisingan kota dan polusi,” kata Wima Brahmantya (36) pemilik Perkebunan Kopi Karanganjar kepada NOVA.
(Baca juga: Sebelum Donor ASI, Lakukan Pemeriksaan Ini Terlebih Dahulu!)
Kamar Bung Karno
Begitu masuk ke dalam bangunan utama, kita disambut dengan ramah oleh Indah, guide yang melayani siapapun tamu yang datang ke sana.
Awalnya dia akan mengajak kita masuk ke sebuah ruangan besar, bersih dan tertata rapi, yang mereka sebut dengan Rumah Loji.
Di dinding bangunan dengan beberapa kamar serta ruang tamu luas itu terdapat berbagai lukisan serta benda-benda kuno.
Menurut Indah, Rumah Loji itu peninggalan zaman Belanda yang sudah ada sejak perkebunan itu berdiri tahun 1874.
(Baca juga: Begini Cara Mengejutkan Stuart Collin Minta Bertemu Sang Anak kepada Risty Tagor)
“Namun, setelah Belanda hengkang dari Indonesia, pada tahun 1960 status hukumnya di-swastakan dengan dimiliki beberapa mandor. Oleh Pak Deni Rosadi, yang juga salah seorang kepala mandor, perkebunan beserta aset yang ada di atasnya dibeli semua dan menjadi milik pribadinya,” kata Indah.
Dari Deni Rosadi yang meninggal tahun 1984, perkebunan tersebut jatuh ke anggota keluarga lain.
Namun, sejak tahun 2014 dikelola Herry Noegroho, mantan bupati Blitar bersama anaknya, Wima Brahmantya.
“Jadi Mas Wima masuk generasi ketiga,” ujarnya.
(Baca juga: Terpopuler: Penyebab Gemuk Seiring Bertambahnya Usia hingga Cerita Winda Viska soal Bahaya Preeklamsia saat Hamil)
Indah mengajak ke kamar Bung Karno.
Disebut Kamar Bung Karno, karena di dalam kamar yang terawat dengan baik itu di dalamnya terdapat barang-barang peninggalan Bung Karno, yang dibeli dari hasil lelang di Hotel Indonesia.
“Kamar ini disebut kamar 806, sesuai dengan salah satu kamar Bung Karno yang ada di hotel Indonesia,” katanya sambil menyebut konon Bung Karno sempat beristirahat di kamar tersebut.
(Baca juga: Saking Kangennya pada Hamish, Raisa Lakukan Hal Ini, Bikin Iri!)
Barang-barang hasil lelang yang ada di dalamnya seperti meja, kursi, sampai gerendel dan pintu.
“Bahkan salah satu lukisan wanita berbaju putih yang digantung di dinding itu adalah lukisan BK, tetapi siapakah wanita tersebut? Sampai saat ini belum ada yang tahu,” kata Indah.
Sementara, “lukisan Bung Karno berkuran besar yang tergantung di sisi kanan tempat tidur karya Pak Satriyoko, dinyatakan sebagai lukisan Bung Karno terbaik.”
(Baca juga: Stop! Jangan Kucek Mata Saat Kelilipan, Lakukan 2 Cara Ini)
Bersebelahan dengan kamar sang proklamator, terdapat kamar yang ukurannya sedikti lebih kecil.
Kamar yang di dalamnya bersisi tempat tidur kayu tempo dulu, TV dan radio kuno, termasuk meja kerja beserta mesin ketik jadul adalah kamar Deni Rosadi.
“Ini adalah kamar Pak Deni semasa masih hidup,” terang Indah.
Setelah itu, tamu diantar ke aula, sebuah ruangan cukup luas yang masih berada satu atap dengan dua kamar sebelumnya.
(Baca juga: Jangan Lakukan 7 Hal Ini Saat Bertengkar dengan Pasangan, Nomor 3 Sering Kita Lakukan)
Sempat Tak Terawat
Wima menceritakan, perkebunan kopi itu memiliki cerita panjang.
Menurut sejarah, memang dulu areanya cukup besar. Sisa peninggalan berupa gudang untuk pengeringan sampai mesin pengolahan kopi masih ada.
“Sebenarnya saya ingin menghidupkan, tetapi biayanya terlalu tinggi,” kata anak pertama dari dua bersaudara ini pelan.
Ia masih ingat, perkebunan ini dirawat baik oleh mendiang kakeknya, Deni Rosadi. Bahkan menghasilkan kopi cukup banyak.
“Tapi setelah kepergian kakek tahun 1983, pengelolaannya agak masalah, sebab saudara lebih banyak terjun ke politik. Jadi perkebunan ini tidak ada yang ngurus. Akibatnya, produksi turun, bahkan sempat tekor setiap bulannya,” kata Wima.
(Baca juga: Benarkah Kandungan pada Kacang dan Biji-bijian Ini Mencegah Diabetes Tipe 2? Ini Penjelasannya)
Semula ada wacana perkebunan ini dijual, tetapi ia merasa sayang. Karena kalau bisa mengelola dengan baik, maka akan jadi lokasi wisata yang menarik.
“Lalu tahun 2014 saya masuk untuk memperbaiki manajemen, kemudian disusul bapak yang sudah habis masa jabatan sebagai Bupati Blitar, masuk sama-sama bantu mengelola. Lalu pada akhir tahun 2016, kami buka sebagai agrowisata. Jadi tak hanya wisata perkebunan kopi saja, tetapi ada nilai sejarahnya,” papar Wima.
Begitu masuk, Wima langsung memperbaiki semua gedung yang ada tanpa mengubah aslinya.
Hanya sekedar membersihkan, agar kesan kuno tetap terjaga.
(Baca juga: Tak Perlu Panik, Inilah Pertolongan Pertama yang Bisa Kita Lakukan Bila Mengalami Cedera Engkel)
“Saya ini karakternya agak sentimental dengan masa lalu, jadi ada perasaan sayang kalau peninggalan zaman dulu, dengan segudang sejarah yang melingkupinya, harus dibongkar,” papar Wima, Sarjana Matematika ITS yang tertarik dunia seni.
Di antara bangunan-bangunan tua di area perkebunan itu, selain untuk resto, Rumah Loji, ruangan pengolahan kopi, juga digunakan sebagai museum.
Di dalam Kebun Karanganjar, ada tiga museum, yaitu Museum Purna Bhakti, Museum Keris, dan Museum Mblitaran.
Untuk Museum Purna Bhakti berisi barang-barang peninggalan semasa Herry Noegroho menjabat sebagai bupati, mulai setting meja kursi kerja, sampai busana ketika jadi bupati selama 12 tahun.
(Baca juga: Jangan Kaget, Ternyata Ini Alasannya Mengapa Miss V Bisa Kendur!)
“Daripada hanya ditumpuk dalam lemari, kan bisa dipajang sebagai kenang-kenangan,” kata Wima.
Sementara untuk Museum Mblitaran, bersisi tentang benda-benda seni dari Blitar, mulai lukisan tentang Kota Blitar yang dilukis sangat apik dari bahan kopi, batik khas Blitar yang coraknya diambil salah satu museum di Leiden, Belanda, sampai seperangkat alat gamelan.
“Saya lihat dengan mata kepala sendiri, gong gamelan ini bunyi sendiri tanpa ada yang menabuh,” papar Wima.
Yang tak kalah menarik adalah Museum Keris yang berisi puluhan keris yang tertata dengan rapi, mulai peninggalan Mpu Jimbe yang hidup pada jaman Majapahit sampai keris yang digunakan Jenderal Sudirman tertata rapi menjadi bagian koleksi di sana.
(Baca juga: Ternyata Bukan Karena Pola Makan, Hal Ini yang Bikin Kita Gemuk Seiring Bertambahnya Usia)
Ada satu lagi fakta menarik tentang Perkebunan Karanganjar, yaitu sebagai tempat lahirnya Anthony Herman Gerard Fokker.
Dia tak lain adalah orang yang merancang pesawat jenis Fokker pada tahun 1890.
Anthony bisa sampai ke sana, karena ayahnya, Herman Fokker Sr, ditugaskan Pemerintah Belanda untuk bekerja di perkebunan itu.
Pada saat tinggal di Blitar itulah Anthony Fokker lahir sampai usia empat tahun, sebelum kemudian balik ke Belanda.
“Makanya dalam waktu dekat saya akan menghubungi keduataan Belanda atau keluarganya yang masih ada. Kalau dibolehkan, saya akan membuat monumen bahwa di sinilah tempat lahirnya perancang pesawat itu,” ujar Wima.
(Baca juga: Tak Perlu ke Salon, Begini Cara Merapikan Alis yang Praktis di Rumah)
Seru Buat Keluarga
Namanya juga perkebunan kopi, tentu ada juga bangunan yang berfungsi sebagai pengolahan kopi.
Para ahli kopi mengolah biji kopi mulai menyangrai, menggiling, sampai menjadi kopi untuk dijual di kafe atau dikemas, kemudian dijual kepada masyarakat yang berkunjung.
Jika kita datang, kita bisa melihat langsung bagaiman proses pembibitan hingga proses pengolahan menjadi kopi bubuk.
Tentu ada guide yang bisa menjelaskan. Menariknya, agar suasana tempo dulu semakin terasa, ia mendatangkan bule dari luar negeri sebagai volunteer atau relawan yang akan membantu dirinya sehari-hari.
(Baca juga: Pantas Saja Donat Tidak Bulat Sempurna, Inilah Kesalahan yang Sering Kita Lakukan)
Bule itu tanpa dibayar, mereka sehari-harinya melayani pembeli di kafe.
“Angan-angan saya untuk menjadikan agrowisata suasana tempo dulu akhirnya tercapai,” kata Wima bangga.
Bule yang jadi volunteer datang bergantian setiap dua minggu sekali.
Kebetulan mereka juga pengin belajar dan melihat dari dekat kebun kopi.
Mereka mengaku di negaranya sebagai penikmat kopi, tapi belum pernah tahu bagaimana wujud pohon kopi sebenarnya.
(Baca juga: Gagal Bikin Bolu Kukus Layaknya Buatan Bakery? Jangan Lakukan 6 Kesalahan Ini Lagi!)
Rupanya, selain jadi pelayan kafe, pada hari biasa mereka diminta mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak kampung di sekitar perkebunan.
“Anak-anak jadi senang sih, mereka diajar langsung oleh bule secara gratis,” ungkap Wima yang juga seorang pianis musik klasik tersebut.
O, iya. Untuk masuk ke kawasan perkebunan, dipatok tiket masuk seharga Rp5000 untuk hari biasa dan Rp30.000 untuk hari Minggu dan hari besar.
Selain perkebunan kopi dan museum, juga ada playground untuk anak, sewa motor ATV buat mengeliling kebun kopi.
“Kalau jalan, kan tidak mungkin. Dengan motor ATV ini, kita bisa blusukan ke kawasan kopi tanpa terasa capek,” kata Hanafi, yang sering mengajak keluarganya berkunjung ke perkebunan.
Pemandangan indah dan suasana yang nyaman, memang asyik buat dikunjungi!
(Gandhi Wasono M.)