NOVA.id - November 2017 lalu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah menyatakan Indonesia mengalami kejadian luar biasa (KLB) difteri.
KLB difteri ini ditandai dengan peningkatan kasus difteri di hampir seluruh wilayah di Indonesia.
Difteri sendiri adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Corynebacterium dipheriae dan ditularkan melalui udara dan bisa masuk ke dalam saluran pernapasan.
(Baca juga: Lagi-Lagi Istri Jadi Korban Kekerasan Suami Hingga Tewas, Tak Disangka Penyebabnya Sungguh Sepele)
Bila masuk ke dalam tubuh, bakteri ini akan mengeluarkan toksin atau zat racun yang membahayakan.
Gejala yang timbul antara lain lemas, sakit tenggorokan, demam, pembengkakan leher, muncul lapisan abu-abu di tenggorokan atau amandel yang berdarah bila diangkat, sulit bernapas, dan sulit menelan.
Bakteri yang masuk ke dalam tubuh bisa merusak amandel, sel darah merah, hingga akhirnya membentuk selaput yang semakin besar.
(Baca juga: Solusi Rayakan Natal dan Tahun Baru 2017, di Rumah atau di Luar Ya? Temukan Jawabannya!)
Akibatnya, bisa menyumbat dan membuat kita mengalami sesak napas.
Toksin yang disebabkan bakteri difteri dapat menyerang dan merusak organ seperti jantung, otot mulut, hingga ginjal.
Untuk mengobati difteri sendiri bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pemberian antitoksin difteri untuk mencegah kerusakan akibat toksin difteri serta pemberian antibiotik untuk melawan bakteri.
(Baca juga: Selain Jonghyun SHINee, Ini Dia Deretan Artis Korea yang Meninggal Bunuh Diri, Nomor 4 Tragis Banget!)
Antitoksin difteri sendiri harus diberikan sesegera mungkin.
Namun, antitoksin ini hanya diberikan pada pasien yang secara klinis menunjukkan gejala-gejala difteri serta telah melakukan uji hipersensitivitas terhadap antitoksin ini.
Biasanya, antitoksin ini diberikan dalam bentuk suntikan intramuscular atau suntikan ke otot pada kasus yang ringan.
(Baca juga: Agar Produktivitas Makin Meningkat, Sebaiknya Tata Meja Kerja Jadi Seperti Ini)
Pada kasus berat, antitoksin akan dalam cairan infus.
Sedangkan dosis untuk anak dan dewasa pada umumnya tak berbeda dan disesuaikan dengan gejala klinis yang muncul.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat, ada beberapa kondisi di mana antitoksin difteri dapat digunakan untuk pencegahan penyakit, bukan untuk mengobati.(*)