NOVA.id – Di saat industri fashion mulai memakan korban—baik dari segi ekonomi, sosial, atau lingkungan, himbauan untuk menerapkan gaya hidup eco fashion sebagai bagian dari eco lifestyle dan ethical fashion sudah tentu terlalu bahaya bila hanya sekadar jadi wacana.
Apalagi, pada industri fast fashion atau high street fashion yang sekarang telah kian populer dan marak ditetapkan sebagai pilihan, terutama yang berkembang di bidang retail.
Meski produknya sungguh menggoda untuk dikoleksi, dampak yang dihasilkan dari konsep ini jelas tak bisa dianggap sepele.
Fast fashion sendiri merupakan koleksi baju yang mengikuti atau mengadopsi tren luxury fashion—tren busana mewah, terbatas, berharga mahal—yang diproduksi secara massal dan kurang eksklusif.
(Baca juga: Ini Dia Rekomendasi Penginapan di Bali dengan Harga di Bawah Rp 200 ribu, Tertarik?)
Desain produk yang mainstream dan perputaran model yang cepat—bahkan unpredictable, serta harga jual yang terjangkau ini lah yang membuat fast fashion tak pernah kehilangan penggemar.
Karenanya, berbagai efek negatif yang timbul dari pamornya pun tak bisa lagi dibendung.
Fast Fashion vs Ethical Fashion
“Kita melihat di awal tahun 2000-an, fast fashion bertumbuh dan meningkat sangat besar mencapai 65%. Padahal ada impact negatif yang dihasilkan dari sini. Lingkungan tercemar karena banyak limbah dari industri. Dari segi ekonomi, banyak tenaga kerja yang dibayar tidak layak. Secara sosial, anak-anak dan perempuan dieksploitasi tenaganya. Tempat kerja juga tidak layak. Itu semuanya dilakukan untuk menekan biaya produksi agar kalau dijual, fast fashion ini harganya murah. Sebagai penikmat, kita tentu menikmatinya,” jelas Ichwan Thoha, perancang busana dan anggota dari Indonesia Fashion Chamber, sekaligus salah satu sosok yang aktif mengampanyekan isu ethical fashion di Indonesia.
Ethical fashion, merupakan sebuah bentuk pendekatan ramah lingkungan, ekonomi, dan sosial, terhadap perkembangan industri fesyen yang sedang berkembang.
Cita-cita yang ingin diwujudkan oleh konsep ini adalah pencapaian fashion sustainability.
Artinya, industri mode yang berkesinambungan dan tidak merugikan.
(Baca juga: Mau Buka Usaha? Ini 5 Bisnis Artis yang Bisa Jadi Inspirasi)
Sementara itu, “Eco fashion adalah bagian dan bentuk pengaplikasian dari ethical fashion. Karena ethical fashion sendiri sangat luas,” ungkap Icun—sapaan akrabnya.
“Kita akui dengan fast fashion, industri fashion sangatlah bergairah. Tren berputar sangat cepat. Konsumen sangat senang. Tapi korbannya itu banyak banget. Itu yang harus kita pikirkan,” tambahnya.
Dalam tren global yang kebanyakan berasal dari Amerika atau Eropa, konsep eco fashion sebetulnya telah banyak diterapkan dalam produksi busana. Sadar atau tidak.
Misal, bahan pakaian yang sulit ditemukan di era 1930-an membuat fashion designer masa itu mendesain baju yang tidak memerlukan banyak bahan pakaian.
Di akhir abad 19 atau 20, pekerja tambang di Amerika atau Eropa bekerja di luar ruang, mengenakan baju pribadi.
(Baca juga: Terlihat Fresh dan Muda, Yuk Intip Gaya Rambut Bob yang Lagi Ngetren di Kalangan Seleb Indonesia)
Ramai-ramai tidur di tenda yang terbuat dari bahan kanvas dengan baju yang cepat rusak, mereka akhirnya mencetuskan ide untuk membuat seragam.
Akhirnya, dari bahan kanvas, dibuatlah seragam.
Kanvas, jika dihaluskan, akan menjadi bahan denim yang awet digunakan. Levi’s akhirnya mengadaptasi konsep ini menjadi produk denimnya.
Coco Chanel yang sempat mempopulerkan baju hitam—kemudian menjadi little black dress—yang timeless juga merupakan sebuah bentuk ethical fashion—karena membuat pengguna busana tak perlu sering menambah koleksi pakaian.
Anak-anak muda yang protes terhadap perang Vietnam di tahun 1960-an akhir, memutuskan untuk hidup lebih damai dengan kembali ke alam. Maka, lahirlah komunitas hippies.
(Baca juga: Kelanjutan Persidangan Jennifer Dunn: Dari Mulai Bawa Anak Saat Beli Sabu sampai Penemuan Ponsel di Rumahnya)
“Busana hippie sendiri bagian dari ethical fashion,” kata Icun.
Beralih ke zaman sekarang, brand H&M sempat membuat koleksi ramah lingkungan yang berasal dari bahan daur ulang dan organik (Conscious Exclusive Collection).
Nudie jeans pun mengusung koleksi denim yang sustain dan tidak merugikan lingkungan.
Selain dua brand ini, sederet produsen fashion luar negeri lain juga tak sedikit yang menciptakan konsep serupa.
Bagaimana dengan Indonesia?
(Baca juga: Satu Orang Meninggal dalam Insiden Jatuhnya Helikopter di Morowali, PT IMIP: Beruntung Jalanan Sedang Sepi)
Ethical Fashion di Indonesia
“Kalau desainer Indonesia, banyak rekan-rekan fashion designer sudah mengenakan warna alam, produsen bahan juga diajak memakai warna alam atau motif alam di bahan mereka. Warna alam ini bisa diaplikasikan dalam ikat, batik, dan juga tenun, jumputan dan lain-lain, tie-dye. Paling-paling itu yang sudah diaplikasikan,” imbuh Icun.
Sebaliknya dari sudut pandang konsumen, Icun bercerita, konsep ethical fashion justru belum tersosialisasi dengan baik.
“Waktu saya mensosialisasikan ethical fashion, tiba-tiba ada yang bilang, apa, sih maksudnya? Apakah berbusana sesuai etika? Ternyata, istilah ini saja belum tersosialisasi dengan baik. Itu yang saya kampanyekan, saya terapkan terutama dalam asosiasi saya,” kisahnya.
(Baca juga: Agar Otak Tetap Bekerja Optimal, Cobalah Konsumsi 5 Makanan Enak Ini)
Langkah-langkah yang bisa diambil oleh para fashion designer dalam mengenalkan eco fashion—menurut Icun—sebetulnya beragam.
Misal, menggunakan bahan yang cepat larut dengan tanah.
Dalam artian, saat sudah usang dan ingin dibuang, pakaian jenis ini tidak akan jadi limbah.
Cara lain, adalah dengan membuat pakaian berkonsep reversible atau multi-function, sehingga para konsumen tidak perlu mengonsumsi pakaian dalam jumlah banyak karena mereka pasti bisa mengombinasikan sedikit saja item untuk menghasilkan banyak look.
(Baca juga: Fakta Menarik, Ternyata Pelancong Tanah Air Lebih Suka Lakukan Cara Mandiri InI!)
Bersyukurnya, kenyataan sekarang menunjukkan bahwa telah ada banyak fashion designer Indonesia yang menerapkan langkah-langkah ethical fashion tersebut.
Ria Miranda, memakai kain dari serat kayu pinus untuk membuat pakaian.
Novita Yunus dari label Batik Chic juga memanfaatkan teknik eco print dan pewarna alami dari daun jati.
(Baca juga: Sama Seperti Perempuan Biasa, Ternyata Kate Middleton Juga Pernah Ngidam, loh!)
Selain itu, Merdi Sihombing saat tampil di pekan Eco Fashion Week Australia beberapa waktu lalu juga menggunakan pewarna alami dari kulit pohon beringin, tanaman salaon, dan harimontong.
Sejumlah nama desainer lain juga terbukti semakin berlomba menghasilkan karya ramah lingkungan.
Dari fakta-fakta ini, semoga saja penerapan ethical fashion yang baik di Indonesia semakin terlaksana, baik dari konsumen maupun produsen.(*)
Jeanett Verica