Desa Panglipuran, Wajah Asli Kampung Bali yang Penuh Tradisi Kuno

By Healza Kurnia, Sabtu, 7 Juli 2018 | 19:00 WIB
Tradisi kuno masih melekat kuat dalam keseharian penduduk desa (Kadek Sonia Piscayanti)

NOVA.id - Jika saat ini Sahabat NOVA sedang menghabiskan waktu akhir pekan di Bali, tak ada salahnye berkunjung dan menikmati udara segar dari Desa Panglipuran.

Ini bukan sekadar desa biasa yang biasa kita jumpai di Pulau Jawa.

Memegang teguh tradisi, kini dikunjungi ratusan orang setiap harinya.

Inilah Desa Penglipuran, yang berada di Kabupaten Bangli, Bali.

Jangan bayangkan Desa Penglipuran berada di tempat terpencil.

Baca juga: Unggah Foto dengan Istri, Giring Nidji: Kok Bisa Kita Dipertemukan?

Meskipun tradisi-tradisi kuno masih kuat melekat dalam keseharian penduduknya, lokasi desa ini bukanlah di pedalaman yang sulit dijangkau.

Setiap hari ratusan orang berkunjung ke desa tersebut.

Untuk menuju ke Desa Panglipuran, kita bisa melewati kawasan Ubud, susuri Jalan Raya Tampaksiring, kemudian masuk ke Jalan Raya Kintamani menuju kota Bangli.

Nanti kita akan berjumpa dengan sebuah plang nama di pinggir jalan raya bertuliskan Desa Penglipuran.

Ikuti saja petunjuknya, sekitar 200 meter dari plang tersebut kita sudah sampai di Desa Penglipuran.

Tentu karena desa ini berbeda dengan desa lain di Bali.

Selain udaranya sejuk dan dikelilingi alam yang indah, arsitektur bangunan desa unik dan tata letak pemukiman terlihat sangat rapi.

Baca juga: Viral karena Dicium Perempuan Saat Meliput, Pria Korea Ini Jadi Perdebatan, Kok Bisa?

Desa Penglipuran juga amat bersih, bahkan beberapa kali mendapat penghargaan sebagaidesa terbersih di dunia.

Wayan Wika Wijaya, salah seorang tokoh pemuda di Desa Penglipuran menyebut bahwa Penglipuran bisa diartikan sebagai tempat untuk menghibur diri atau melipur diri.

“Tempat ini konon biasa digunakan sebagai tempat peristirahatan raja-raja pada zaman kerajaan," ujarnya.

Sebenarnya, nama Penglipuran berasal dari kata eling ring pura.

Artinya selalu ingat pada pura (tempat persembahyangan) atau bisa diartikan dengan selalu ingat leluhur.

Leluhur warga Desa Penglipuran berasal dari Desa Bayung Gede, sebuah desa tradisional yang juga berada di wilayah Bangli.

Agar selalu ingat pada leluhur, mereka membangun tempat tinggal dengan arsitektur yang sama dengan arsitektur di tempat leluhurnya.

Baca juga: Bikin Haru! Bill Gates Sumbangkan Sekitar 1,4 Triliun Rupiah Demi Ayahnya

Bahkan sejumlah bangunan dengan arsitektur kuno harus dipertahankan semua warga, di antaranya rumah bambu dan sebuah balai panjang yang biasa digunakan sebagai tempat tidur dan tempat menerima tamu.

Setiap pekarangan rumah di desa diharuskan memiliki bangunan bambu (Kadek Sonia Piscayanti)

“Yang paling unik adalah bangunan bambu yang semua bahannya harus dibuat dengan bahan bambu,” tambah Wika.

Dulu hampir semua kegiatan warga dilakukan dalam bangunan bambu tersebut, mulai memasak, tidur, bahkan sekadar bercengkerama bersama keluarga.

Belakangan, karena jumlah penduduk terus meningkat, warga terpaksa membangun rumah tambahan. Meski dibuat dengan modifikasi arsitektur modern, tetap disesuaikan dengan arsitektur khas Penglipuran.

“Di setiap pekarangan tetap harus ada bangunan bambu. Jika ada tambahan bangunan biasanya disesuaikan dengan arsitektur khas Penglipuran,” ujar Wika.

Baca juga: Hamil Anak Ketiga, Begini Potret Natasha Rizky yang Makin Menawan dengan Gaya Hijabnya

Bagi warga, mencari bambu bukan urusan sulit, karena di sebelah desa terdapat hutan bambu yang sangat luas.

Setiap keluarga memiliki kaveling hutan bambu yang bisa dipanen untuk membangun rumah.

Jika bambu di hutan cukup berlebihan, sementara keperluan membangun rumah belum begitu mendesak, maka bambu bisa dijual ke luar desa.

Seorang warga, I Wayan Kajeng, mengatakan usia rata-rata rumah yang menggunakan bahan bambu di desa itu antara 15-20 tahun.

Jadi, setiap sekitar 15 tahun bambunya lapuk, artinya penggantian bambu dilakukan kira kira setiap rentang tahun tersebut.

“Kami tak kesulitan jika membuat rumah bambu, karena bambunya selalu ada,” kata Kajeng.(*)

(Kadek Sonia Piscayanti)