Adapun survei itu pun seolah menjadi cermin mengapa WEF (World Economic Forum) tahun 2016 yang membeberkan Indonesia menduduki posisi 73 dari 139 negara rendah literasi.
Kecakapan literasi ini sendiri bukan sekadar dipengaruhi jenjang pendidikan atau status sosial.
Buktinya, ya itu tadi, banyak orang-orang dengan tingkat pendidikan tinggi sampai strata 2 yang masih saja termakan hoax.
Baca Juga : Sebelum Meninggal, Torro Margens Ternyata Alami Infeksi hingga Muntah Darah
Hal ini juga sejatinya didukung oleh penelitian OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development).
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi itu, pada tahun 2016 menjelaskan bahwa sebanyak 70 persen penduduk Jakarta tidak paham apa yang mereka baca.
Padahal, ibu kota yang menjadi sentra ekonomi Indonesia, tentu diisi oleh mereka yang rata-rata berbekal pendidikan formal cukup baik.
Baca Juga : Kronologi Brigpol Dewi Ditipu Napi hingga Dipecat dari Pekerjaannya sebagai Polisi
“Membaca bukan berarti bisa memahami. Itulah yang memang terjadi sekarang. Kepiawaian kita akan literasi sering dijadikan bahan untuk menimbulkan konflik, perdebatan, keresahan hingga kecemasan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Sudah kurang cakap, teknologi internet terus berkembang pesat, wajar saja jika kita masih dianggap belum siap untuk cerdas,” ungkap Dr. Dedi Permadi, Direktur Centre for Digital Society dari Universitas Gajah Mada itu.
Duh, padahal kita sudah hendak memasuki tahun politik, ya, Sahabat NOVA.
Akan lebih baik bila kita semakin lebih cermat dan pintar dalam mengolah informasi, sehingga penyebaran di media sosial pun bisa kita tangkal! (*)
Source | : | Tabloid Nova |
Penulis | : | Tentry Yudvi Dian Utami |
Editor | : | Jeanett Verica |
KOMENTAR