NOVA.id - Di saat perempuan di Amerika tengah semangat mendominasi politik, yang terjadi di Indonesia justru seperti kebalikannya.
Meski ada beberapa nama perempuan yang maju ke panggung politik dalam Pemilihan Umum 2019, 17 April mendatang, rupanya masih ada bidang-bidang lain yang minim partisipasi perempuan.
Salah satunya, sebagai penyelenggara Pemilihan Umum atau Pemilu.
Hal ini tampak disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di laman Kompas beberapa waktu lalu.
Baca Juga : Nahas, Perempuan Ini Tewas di Lubang Septic Tank Bersama 3 Orang Pria yang Hendak Menolongnya
Dalam penilaian Titi, antusiasme perempuan untuk mengikuti rekrutmen sebagai penyelenggara pemilu di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) rupanya masih rendah.
Adapun masalah ini disebabkan oleh budaya dan stigma yang masih lekat dengan kita.
"Selain juga persepsi masyarakat kita yang kurang positif dalam beberapa hal melihat keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara Pemilu," kata Titi.
Baca Juga : Disentil di Medsos, Aurel Beberkan Alasan Anang Hermansyah Tak Mau Tanggapi Jerinx SID
Selain itu, ada benturan ranah domestik dengan ranah publik atau politik yang membuat kita lebih sulit saat ingin berkontribusi sebagai penyelenggara pemilu.
Titi juga mengungkapkan adanya masalah struktural di Bawaslu dan KPU dalam melakukan rekrutmen.
"Gimana kemudian kelembagaan penyelenggara pemilu dalam lakukan rekrutmen punya keterbatasan dalam sosialisasikan proses rekrutmen itu sendiri," ujarnya.
Baca Juga : Begini Cara Tepat Pilih Parfum Mobil agar Tak Berbahaya Bagi Kesehatan
Ia menambahkan, ada standar ketat dari tim seleksi karena mereka masih melihat kapasitas, seperti pengetahuan soal pemilu hingga partai politik tak bisa ditawar.
Sehingga perempuan harus didesak untuk memiliki kapasitas yang sama.
"Sementara dalam pandangan kami, perempuan itu bisa diafirmasi atau mendapat tindakan khusus sementara, untuk mengejar ketertinggalan mereka di lembaga penyelenggara pemilu nanti," kata dia.
Baca Juga : Ingin Miliki Bentuk Tubuh Ideal? Yuk Ikuti 3 Langkah Sederhana Ini!
Titi menilai, tak adanya konsolidasi kuat antara pemilih perempuan, penyelenggara pemilu perempuan, dan calon legislatif atau kepala daerah dari kalangan perempuan.
Padahal, kata dia, sinergitas ketiga aktor itu berpengaruh besar pada pencapaian keterwakilan perempuan dalam politik hingga pengambilan kebijakan di tingkat eksekutif dan legislatif nanti.
Ia mengingatkan, berdasarkan kriteria United Nations Division for the Advancement of Woman, nilai-nilai program prioritas perempuan bisa diperhatikan apabila perempuan memiliki keterwakilan sekitar 30-35 persen.
Baca Juga : Janggal, Suami Saphira Indah Lihat Burung Misterius Hinggap di Rumah Malam Hari: Itu Pertanda...
"Itu bukan angka imajiner yang tidak objektif, itu angka ilmiah. Perempuan itu baru bisa punya peluang agar suara dan keberadaannya diperhitungkan kalau jumlahnya 30 sampai 35 persen," kata dia.
Oleh karena itu, perlu upaya yang lebih optimal untuk mendorong lebih banyak perempuan mau masuk dan menjadi penyelenggara pemilu.
"Karena selama ini afirmasi keterwakilan perempuan mudah diucapkan, disampaikan tetapi menjaga konsistensi dan komitmennya sulit untuk diwujudkan," ujar Titi.
Baca Juga : Begini Caranya Memilih Sampo untuk Rambut Keriting, Beda!
Yah, sebelum angka ini terwakili, setidaknya, kita sebagai perempuan masih bisa berpartisipasi dengan mencoba menyumbangkan suara kita pada Pemilu nanti.
Jadi, jangan lupa gunakan hak pilih kita nanti, ya! (*)
Artikel ini pernah tayang di laman Kompas.com dengan judul Antusiasme Perempuan Terhadap Penyelenggara Pemilu Masih Rendah
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Tentry Yudvi Dian Utami |
Editor | : | Jeanett Verica |
KOMENTAR