NOVA.id - Sampai saat ini, perempuan dan kelompok minoritas masih mengalami kekerasan sistematis.
Terlebih selama pandemi, posisi perempuan yang menjadi korban kekerasan justru semakin terhimpit.
Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 yang disusun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 mencapai 299.911 kasus.
Jumlah laporan kasus ini turun sebesar 31% dari tahun sebelumnya, tetapi tindakan kekerasan terhadap perempuan tidak berkurang.
Baca Juga: Ajak Masyarakat Saling Ucapkan Terima Kasih, Cadbury Luncurkan Kemasan Spesial
Angkanya turun karena kondisi pandemi (PSBB) membuat perempuan korban kekerasan tetap berada dalam jangkauan pelaku sehingga korban kesulitan dan takut untuk melapor. Korban lebih memilih diam, atau mengadu pada keluarga.
Ruang privat maupun publik, luring maupun daring, belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan dan kelompok minoritas.
Terkhusus daring, data Komnas Perempuan mencatat, angka kasus kekerasan berbasis gender siber/online (KBGO) mencapai 940 kasus. Angka ini melonjak tajam dari sebelum pandemi, tahun 2019, yang mencapai 241 kasus.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, mengatakan bahwa mekanisme pemulihan termasuk peradilan gagal menyelesaikan kekerasan sistematis yang menimpa perempuan.
Sebaliknya, negara justru melakukan kekerasan sistematis tersebut, baik melalui berbagai kebijakan yang diskriminatif, tindakan perampasan ruang hidup perempuan maupun stigma melalui pernyataan pejabat publik.
“Tidak bisa dielakkan, negara Indonesia masih abai melindungi perempuan dan bersamaan melakukan diskriminasi,” ujar Asfinawati, ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dalam Konferensi Pers Online Hari Perempuan Internasional 2021, Senin (08/03).
Baca Juga: 7 Cara Rayakan Hari Perempuan Internasional, Sederhana dan Penuh Makna
Absennya negara dalam melindungi segenap warganya di masa pandemi semakin terlihat pada kelompok minoritas gender dan seksual.
Diskriminasi tetap subur, kelompok transpuan kehilangan mata pencaharian. Alih-alih serius menangani pandemi, kelompok transpuan diperlakukan dengan tidak manusiawi, baik oleh aparat kepolisian dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Elyarumiyati dari JALA PRT mengatakan pemerintah juga tidak berpihak pada Pekerja Rumah Tangga (PRT). RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sudah mangkrak selama 17 tahun karena dianggap tidak berkontribusi untuk menyelamatkan krisis ekonomi.
Baca Juga: Akhirnya Buka Suara, Kaesang Ngaku Dimaki-maki Saat Minta Putus dari Felicia Tissue: Aku Diam Saja
Kondisi PRT yang mayoritas perempuan, menurutnya sudah bertahun-tahun terombang-ambing dalam ketidakpastian kerja dan tidak ada perlindungan hukum dari negara.
Jam kerja yang tidak pasti, upah yang tidak manusiawi, kekerasan dari majikan baik secara verbal maupun seksual kerap dialami oleh pekerja rumah tangga.
“Sebanyak 4,2 juta PRT adalah perempuan penopang ekonomi keluarga. Mereka bekerja di situasi yang tidak layak, eksploitatif dan rawan perbudakan modern,” katanya.
Nurcahyani Eva dari Lingkar Studi Feminis mengatakan sepanjang pandemi masih banyak kesehatan perempuan yang tidak dijamin.
Perempuan juga harus mengalami beban pekerjaan ganda baik profesional maupun domestik.
Dalam lingkup pendidikan kampus, Eva menambahkan masih banyak kasus kekerasan yang diabaikan dan tidak ditangani secara perspektif korban.
“Maka dari itu, kita sebagai anak muda juga perlu menyuarakan aspirasi untuk mewakili para perempuan dan gerakan akar rumput. Kita ingin pemerintah meratifikasi konvensi ILO dan pengesahan RUU PKS,” ujar Eva.
Baca Juga: Hapus Foto Sang Kekasih, Glenca Chysara Dikabarkan Cinlok dengan Ikbal Fauzi Gara-Gara Unggahan Ini
Setelah UU Cipta Kerja disahkan pada Februari 2021, pemerintah mulai menyusun peraturan turunan untuk berbagai sektor, dan beberapa perusahaan mulai mempraktikannya.
Dalam bidang ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja melegalkan praktik-praktik buruk. UU Cipta Kerja juga mempermudah praktik investasi skala besar yang menihilkan hak-hak sosial-masyarakat dan lingkungan.
Pers yang memperjuangkan demokrasi termasuk di dalamnya jurnalis perempuan yang meliput aksi demonstrasi pun tidak lepas menjadi korban kekerasan.
Sepanjang 2020, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 84 kekerasan terhadap jurnalis, tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Sebagian besar adalah intimidasi, kekerasan fisik, dan perusakan alat kerja yang mayoritas dilakukan oleh oknum aparat.
Baca Juga: Dulu Murka Suaminya Direbut, Maia Estianty Kini Justru Berterima Kasih pada Mulan Jameela
Tak hanya itu, hasil survei AJI Jakarta pada Agustus 2020 menemukan, sebanyak 25 dari 34 responden yang berpartisipasi dalam survei, mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Mayoritas pelaku adalah pejabat publik.
“Momen hari ini, kami menuntut negara untuk lebih serius melindungi hak pekerja media perempuan. Perusahaan media juga harus memenuhi hak pekerja perempuan dan berkomitmen untuk melindungi jurnalis yang menjadi korban kekerasan seksual.
Penanganannya harus serius dan dijamin oleh perusahaan dengan membela korban dan memberi pemulihan untuk korban,” ujar Ika Ningtyas, Sekretaris Jenderal AJI Indonesia.
Dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional 2021 yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2021, GERAK Perempuan yang terdiri dari gerakan masyarakat sipil atas berbagai kelompok dari seluruh Indonesia, mengajak perempuan dan seluruh lapisan masyarakat untuk "Melawan kekerasan terhadap perempuan, menantang sistem politik yang mengabaikan hak rakyat!". (*)
Penulis | : | Widyastuti |
Editor | : | Widyastuti |
KOMENTAR